Kamis, 11 Maret 2010

HUKUMAN MATI UNTUK KORUPTOR: upaya memenuhi azas keadilan

DESAKAN agar para koruptor dihukum mati menguat lagi dewasa ini. Menguat karena fakta yang semakin menantang di depan mata bahwa korupsi ternyata telah demikian hebatnya merambah dan merasuki struktur berbagai pranata. Tidak lagi perbuatan oknum, tetapi terpelihara secara sistemik.

Karena penyakitnya telah sistemik, maka berpengaruh pada pola pikir kolektif. Yaitu, korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan memalukan, tetapi justru diapresiasi sebagai kebajikan. Korupsi telah 'membantu' terwujudnya 'kenikmatan' bagi banyak orang. Karena itu korupsi dianggap sebagai pahala.

Menulis (lagi) tentang korupsi seperti ini, lama kelamaan dianggap sebagai perbuatan yang tidak patut. Inilah yang disebut dengan intrusi pahala korupsi dalam sistem berpikir.

Intrusi itu jelas tercermin bila kita mengamati televisi yang gencar menayangkan para anggota DPR yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus suap. Di depan kamera yang menyorot, mereka (sebagai tersangka) tidak tertunduk malu. Mereka malah menebar senyum.

Bagi mereka yang mendukung hukuman mati, korupsi yang semakin marak dianggap sebagai akibat dari hukuman yang tidak menimbulkan efek jera. Para koruptor selama ini oleh para hakim dijatuhi hukuman ringan, bahkan tidak sedikit yang dibebaskan. Hukuman paling berat terhadap koruptor dijatuhkan kepada Adrian Waworuntu dalam kasus korupsi BNI senilai lebih dari Rp 1 triliun.

Padahal, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diberi ruang tentang hukuman mati itu. Yaitu, "dalam kondisi tertentu, hukuman mati terhadap koruptor bisa dilakukan."
Persoalannya, para hakim menilai 'kondisi tertentu' itu belum memenuhi syarat. Karena persepsi demikian, pikiran tentang hukuman mati malah dianggap lelucon.
Lelucon karena di mata para hakim, korupsi tidak merupakan kejahatan yang menyengsarakan rakyat. Bila mereka memiliki sense of crisis dan cara berpikir yang betul, krisis sekarang ini yang mendera jutaan rakyat Indonesia dalam prahara kemiskinan adalah akibat korupsi yang dilakukan secara sistemik oleh pranata-pranata yang memiliki otoritas menyelenggarakan atau bertanggung jawab terhadap kemaslahatan publik.

Inilah aspek malapetaka yang diciptakan oleh koruptor bagi khalayak. Koruptor sesungguhnya telah membunuh dan merampas hak kesejahteraan yang seharusnya milik orang banyak. Ribuan bayi yang meninggal setiap tahun karena kekurangan gizi, memiliki hubungan kausal dengan korupsi. Puluhan orang yang bunuh diri karena tidak mampu menafkahi keluarga, memiliki tautan kausal dengan korupsi.
Rakyat yang harus hidup dalam kegelapan karena tidak menikmati listrik, memiliki sangkut-paut dengan korupsi. Apalagi kalau diingat 30% APBN lenyap akibat korupsi di berbagai departemen. Ini berarti Rp 300 triliun APBN ? dengan asumsi APBN kita sekarang telah menyentuh Rp 1.000 triliuin ? telah dirampok dari tangan rakyat oleh para koruptor.

Alur berpikir seperti ini seharusnya merasuki para hakim, polisi, dan jaksa. Tetapi mengapa tidak terjadi? Jangan heran, karena arus korupsi yang kencang dan dahsyat justru berputar-putar di kalangan penegak hukum. Di sanalah salah satu sentrum mafia peradilan yang memperjualbelikan perkara.

Tidak mengherankan bila korupsi semakin marak di tengah arus pemberantasan yang semakin galak dewasa ini. Mengapa? Karena pemberantasan korupsi oleh penegak hukum yang terbelenggu mafia peradilan telah menimbulkan korupsi baru.
Inilah yang menyebabkan hukuman mati terhadap koruptor masih dianggap sebagai lelucon.

Senin, 10 Agustus 2009

KEBANGKITAN WAHABI DI INDONESIA

Sejak bergulir Reformasi dapat kita tandai dengan adanya kebangkitan berbagai aliran gerakan. Tidak terkecuali Islam. Pada umumnya, gerakan-gerakan baru Islam ini mengusung faham Salafi. Tercatat sejumlah gerakan dalam aliran ini: Fron Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar Ahlussunah wal Jamaah, dan lain-lain. Beberapa di antaranya sudah membubarkan diri. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk kategori gerakan ini.

Bagaimana pengelompokan ini didasarkan? Dalam tradisi Islam, aliran Salafi mengacu pada pandangan madzhab salaf. Karakteristik menonjol aliran ini, di antaranya, seruan kembali ke Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan kecenderungan penafsiran secara tekstual dengan mengabaikan konteks, dan semangat meniru generasi salaf al-shalih yang dielu-elukan sebagai masa paling ideal.

Ibnu Taymiah dikenal sebagai penggagas awal teologi Salafi. Istilah Salafi, bisa dikatakan, muncul sejak Ibnu Taymiah ini. Kata “salafi” merujuk ke generasi salaf al-shalih. Sepeninggal Ibnu Taymiah, teologi Salafi makin berkembang. Beberapa kurun selanjutnya, di tanah Najd, Semenanjung Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab mengembangkan teologi Salafi dengan lebih spesifik dan makin tajam. Pengembangan teologi oleh Muhammad bin Abdul Wahab dikenal dengan aliran Wahabi. Bagi pengikut Wahabi, istilah ini terdengar kurang baik. Mereka lebih suka disebut pengikut Salafisme.
Pada awal abad 20, pemikiran Ibnu Taymiah dan Muhammad bin Abdul Wahab, sedikit banyak, menjadi pemantik pemikiran Muhammad Abduh. Berangkat dari perpaduan ajaran Ibnu Taymiah dan pencarian Muhammad Abduh, gerakan salafi lantas dikembangkan dengan lebih tertata melalui gerakan Ikhwanul Muslimin. Tokoh paling penting pemberi warna ideologi gerakan ini adalah Sayyid Qutub. Di kalangan islamisis (pakar kajian keislaman), pemikiran Sayyid Qutub disebut dengan istilah Salafi Modern.

Di Indonesia, pemikiran-pemikiran Salafi dibawa oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berdiri. Organisasi ini menyebut dirinya sebagai persyarikatan kaum Puritan Islam. Untuk pertama kali, dalam disertasi doktornya, Deliar Noer menyematkan Muhammadiyah sebagai gerakan Modernis. Sebuah istilah, yang saya duga, untuk menstigma organisasi sejawatnya, Nahdlatul Ulama (NU) agar identik dengan gerakan kampungan.

Hal menarik dari perjalanan Muhammadiyah, selama beberapa dasawarsa awal, organisasi ini lebih cenderung mengadopsi Salafisme Wahabi. Perubahan penting terjadi menjelang tahun 80-an beberapa saat setelah terjadi Revolusi oleh para mullah Syiah di Iran. Keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979 menciptakan kegairahan baru dunia Islam. Dimana-mana orang menganggap bahwa Revousi ini adalah awal dari kebangkitan dunia Islam yang selama beberapa abad mengalami kemunduran. Muslim Indonesia tidak terkecuali. Meski Revolusi itu terjadi di Iran, tetapi Ikhwanul Muslimin, yang bersumber di Mesir, mendapat berkah. Ikhwanul Muslimin mendadak populer. Di Indonesia, terjemahan buku-buku Sayyid Qutub laris. Apa sebab? Bagi kalangan Muslim Indonesia, pemikiran Sayyid Qutub lebih bisa diterima, karena sama-sama Sunni. Selain itu, Sayyid Qutub mampu meramu pemikirannya dengan amat tertata. Bersamaan dengan tren ini, Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Salafi Modern. Sebuah pemikiran yang lebih moderat dibanding Salafi Wahabi. Apa alasannya? Wahabi gampang menyalahkan dan membid’ahkan kaum Muslim yang tidak sepaham. Saya kurang sepakat dengan pendapat Karen Armstrong yang menyatakan bahwa Qutubisme (merujuk ke pemikiran Sayyid Qutub) lebih radikal dibanding Wahabi, seperti tulisannya di The Guardian, 11 Juli 2005. Yang lebih tepat, sebaliknya.

Pilihan Muhammadiyah ini tidak terlepas dari peran anak-anak muda kala itu. Kemunculan tokoh seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi’I Maarif, Affan Ghafar, Syafiq Mughni, M Amin Abdulla, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman -–untuk menyebut beberapa nama saja-- adalah penanda kebangkitan Muhammadiyan baru. Di tangan mereka, Muhammadiyah menjadi organsisasi Islam moderat dan makin disegani. Diperkuat lagi dengan akomodasi politik Suharto dalam perlakuannya terhadap organisasi-organisasi Islam, dengan memanjakan organisasi Islam Puritan ini. Wajah keras Wahabisme di tangan mereka perlahan luntur. Apa buktinya? Perang TBC (Taqlid, Bid’ah & Churafat) yang selama bertahun-tahun menjadi agenda utama, perlahan-lahan mereda. Bahkan beberapa tahun lalu, sebagian warga Muhammadiyah mulai mempertanyakan keefektivan cara dakwah “keras” ini. Mereka mengusulkan dakwah kultural, yang tidak lagi dengan gampang menyebut orang lain bid’ah hanya karena berdakwah dengan pendekatan budaya setempat. Di tangan tokoh-tokoh moderat ini pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak serta merta dijiplak utuh. Mereka membuang jauh-jauh ide pan-Islamisme, mengambil hanya sisi pemikiran gerakan sosialnya. Suatu saat, Amien Rais mengatakan: Tidak ada negara Islam.

Apakah usaha mereka berhasil? Selama beberapa dekade, iya. Namun, di tataran massa Muhammadiyah, kegandrungan pada pemikiran Sayyid Qutub tidak hanya terbatas pada pemikiran sosialnya, tetapi juga pada politisnya. Pada saat suara-suara warga ini tidak ditampung oleh elit-elit Muhammadiyah, mereka lebih memilih bermain di luar area. Gerakan usroh, tarbiyah, halaqah, dan sejenisnya, yang menjamur di lingkungan kampus dan masjid, merupakan bentuk luapan kegelisahan anak-anak muda dan suara protes tidak langsung. PKS berkembang dari gerakan protes ini.

Di samping itu, kepulangan para veteran perang Afghanistan pasca kejatuhan Uni Soviet memberi warna baru. Persentuhan langsung dengan para pejuang dari negara lain selama perang pembebasan Afghanistan makin memperteguh Wahabisme mereka. Pengalaman tempur di medan perang menambah keyakinan bahwa otot dan senjata menjadi identitas baru. Sebuah identitas kekerasan.

Akan tetapi, sekembali mereka di Tanah Air, ide Wahabisme yang mereka bawa tidak diberi tempat oleh elit Muhammadiyah kala itu. Mereka lantas mendirikan atau berkumpul dalam organisasi-organisasi baru, seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir. Organisasi ini adalah diantara organsisasi yang menjadi pilihan warga Muhammadiyah yang menganggap organisasi ini terlalu lembek dalam menyuarakan kepentingan baru mereka. Bahkan, dalam kaitan dengan Syariat Islam, Muhammadiyah pernah dituduh sebagai banci oleh warganya yang radikal. Dulu, warga Muhammadiyah garis kanan, seperti Ali Imran, Amrozi, Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Baasyir, tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. (Ahmad Najib Burhani, Menebak Masa Depan Liberalisme di Muhammadiyah, Islam Progresif, message no. 1519). Mereka inilah Neo-Wahabi itu, gerakan Wahabi baru yang dipadu dengan kemampuan tempur yang dibawanya ke tengah-tengah masyarakat.

Kini, sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 3-8 Juli 2005, para veteran itu sudah kembali menguasai Muhammadiyah. Tokoh-tokoh moderat tersingkir. MUI pun sepertinya sudah mulai direngkuhnya. Apa indikasinya? Fatwa-fatwa keluaran MUI baru-baru ini terlihat memiliki kesan terwarnai oleh tangan-tangan Neo-Wahabi tersebut. Mereka mengagungkan teks secara berlebihan dengan mengabaikan konteks Mereka mudah membid’ahkan dan mensesatkan segala bentuk perbedaan. Gampang menyerbu bukan kelompok sepaham, tanpa toleransi. Gampang mencibir kalangan Islam yang bukan pengikut mati generasi salaf al-shalih. Kata-kata “bid’ah”, “kafir”, “musuh Islam”, “penghancur Islam dari dalam”, dan seterusnya, mudah menjadi ungkapan harian.

Dengan kebangkitan Neo-Wahabi ini, kita bisa menebak arah perjalanan Islam Indonesia ke depan. Wajah Islam Indonesia mulai memunculkan ketidak-ramahan. Akankah semua ini dibiarkan?

Jumat, 12 Juni 2009

NEOLIBERALISME DI INDONESIA

Jejak ekonomi Neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.

Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari Sosialisme ke arah semi Kapitalisme.

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri, maupun sektor perdagangan.

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat itu.

Masa pembangunan ekonomi Orba pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu, paling tidak, dapat diukur dari beberapa indikator utama yaitu:

1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.
4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

Dampak yang Ditimbulkan
Dampak ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:

1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) --baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.

Sebagai contoh di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu itu, yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia.

Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH.

Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal menuai getahnya.

Menurut laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan tahun 2003) diperkirakan kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta hektar dengan laju pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta hektar per tahun.

Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orba, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah Pertamina dan sebagian kecil swasta nasional lainnya.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi minyak di dalam negeri maka mulai November 2005 Pemerintah membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam negeri maupun asing.

Jika Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat dipastikan bahwa harga BBM bakal naik lagi. Namun, dengan merek yang berbeda-beda. Paling tidak sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan batubara 23,5% kebutuhan energi dunia.

Hampir sepertiga cadangan batubara dunia ada di kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara, termasuk yang ditemukan produsen dan kontraktor kerja sama, sampai tahun 2001 mencapai 145,8 miliar ton.

Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta. Dari total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6% dihasilkan oleh penambang swasta.

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar.

Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang menguntungkan Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya. Dimulai sejak tahun 1967.

Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Pada
Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apa pun.

Pada tahun 1988 secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg. Kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.

Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta.

Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana pengembangan masyarakat Papua yaitu sebesar US$ 15 juta.

Pada zaman Reformasi nasib PT FI semakin bersinar. Pada tahun 2001 laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta.

Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan,dari laba bersih sebesar itu sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%. Sedangkan PT FI menguasai 90,64%.

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk FI, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya.

Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing.

2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang (debt trap). Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional yang berbasis pada sistem bunga.

Akibat krisis itu 16 bank dilikuidasi Pemerintah. 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil-alih (BTO). Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional hingga Desember 2000 Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun.

Akibatnya utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya US$ 55 miliar, kini membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri) ditambah Rp 695 triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir.

Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi.

Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah harus mengeluarkan sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 triliun pada tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018.

Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya (baca tulisan saya di opini detik.com tanggal 30 April 2008 tentang "Beban Obligasi Rekap"). Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat itu sudah mencapai 17.7%. Naik dari sekitar 10% pada Semester I tahun 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan suku bunga sebesar satu persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar Pemerintah naik Rp 2,2 triliun.

Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank ditutup, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan Indonesia. Akibat penutupan itu Pemerintah tentu harus menanggung seluruh kerugian nasabah.

Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada rakyat melalui APBN. Hal itu belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan oleh sejumlah orang ke Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran. Bahkan, triliunan rupiah.

Sampai saat ini tanggungan Pemerintah untuk dunia perbankan belum juga susut. Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati obligasi Pemerintah. Hal itu membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun setiap tahunnya.

Sekali lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat melalui pembayaran pajak.

Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank yang sudah mulai sehat harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang lain di lingkup BUMN. Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di bank besar seperti BCA dan Bank Danamon harus dijual ke investor asing.

Nasib yang sama juga menimpa BUMN sehat lainnya seperti Indosat Tbk, Telkom Tbk, Wisma Nusantara Indonesia, Bukit Asam Tbk, Semen Gresik, Pelindo II, dan lain-lain.

3. Munculnya kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok.

Pada tahun 1993 omset dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya di antaranya Om Liem (Salim
Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia tahun itu.

Di sisi lain, jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data BPS 1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di kota dan 26 juta di desa).

Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal. Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang rakyat miskin.

Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat diterapkannya ekonomi Neoliberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam saja menyaksikan semua ini.

Kesabaran rakyat sudah habis. Saatnya momentum Kebangkitan Nasional ini rakyat menggugat agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan dengan benar demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Senin, 04 Mei 2009

KAPITALISME DAN PENJAJAHAN EKONOMI

Pada tahun 1979 Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris, dan tahun 1980 Ronald Reagan terpilih sebagai presiden AS. Kedua tokoh ini sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara. Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini, terjadilah pergeseran prioritas dan perubahan secara fundamental terhadap peran pemerintah dengan cepat, meninggalkan komitmen pemerintah sebelumnya dalam welfare state dan full employment dengan lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik.
Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga. Mereka serempak melakukan pemotongan atas subsidi, beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neo-liberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh negara-negara lainnya tak terkecuali negara-negara Asia. Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Perubahan itu juga ditandai dengan dijualnya perusahaan-perusahaan negara kepada swasta, pasar bebas dan penghapusan subsidi kepada rakyat.

Kapitalisme dan Penjajahan Ekonomi

Asumsi neo-liberalisme adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Maka terjadilah berbagai pemindahan regulasi dari lingkup arena sosial menjadi lingkup urusan personal saja. Apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial yang merupakan persoalan yang membutuhkan peran negara―seperti kemiskinan, kesehatan, pengangguran, penanganan bencana alam, pendidikan dan sebagainya―kemudian dianggap hanya menjadi masalah individual atau personal semata yang hanya membutuhkan kebijakan individual self-care atau social self-care saja tanpa peran aktif negara. Kebijakan subsidi seperti di negara welfare state sedikit demi sedikit dihapuskan. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar.
Jadi, sebenarnya mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neo-liberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Yaitu dengan berpegang secara utuh pada ajaran invisible hands-nya Adam Smith. Adam smith percaya bahwa kebebasan ekonomi, tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, akan membawa kesejahteraan dan kemajuan.
Untuk dapat merambah dunia, neo-liberalisme melakukan tiga tahapan; (1) privatisasi (2) liberalisasi dan (3) pasar bebas. Dimotori organisasi seperti IMF-Word Bank-CGI-Paris Club dan sebagainya yang di drive oleh WTO, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode yang mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan diatas antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Metode seperti ini cukup berhasil, bahkan di beberapa negara cukup dengan menawarkan investasi asing atau paling keras memaksakan deregulasi ekonomi sebagai persyaratan cairnya utang luar negeri, seperti Indonesia. Namun tak jarang, penolakan suatu negara mengharuskan mereka melakukan tekanan militer, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak. Duniapun menjadi ”rata” dengan satu tata aturan, sehingga para kapitalis atau konglomerat dari negara mana saja dengan mudah dapat menguasai apapun yang mereka inginkan dan dimanapun. Negara lain seolah-olah menjadi pekarangan atau ladang mereka yang bisa mereka petik hasilnya kapanpun mereka inginkan.
Namun umumnya masyarakat, masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki kesadaran ideologis berpendapat bahwa investasi asing yang masuk ke dalam negeri akan secara langsung berpengaruh pada peningkatan taraf perekonomian rakyat secara keseluruhan. Karenanya pemerintah membuka jalan sebesar-besarnya kepada investor asing untuk berinvestasi, termasuk di sektor-sektor publik. Padahal jika kita mencoba lebih kritis, investasi asing sesungguhnya membawa misi-misi tertentu yang tujuannya tidak lain untuk semakin memperkaya diri investor itu sendiri.
Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah untuk senantiasa menyadari fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Pemerintah harus menyadari kewajibannya dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan jaminan hidup bagi rakyat tidak mampu. Investasi asing harus dicermati agar tidak sampai mengganggu pelayanan pemerintah pada sektor publik atau bahkan mengambil alih fungsi pemerintah dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat. Investasi asing ataupun utang luar negeri yang masuk jangan selalu dianggap sebagai ”penolong” yang bisa mengangkat taraf ekonomi rakyat, karena seringkali investasi asing termasuk utang luar negeri sengaja dijadikan sebagai kedok untuk selanjutnya menekan dan menguasai atau merampok aset-aset yang dimiliki oleh negara-negara berkembang.
Jika investasi asing yang terjadi sampai merenggut kekayaan alam yang kita miliki dan membawa sebagian besar hasilnya ke luar negeri, ini sama artinya kita dijajah secara ekonomi. Persis seperti aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan multinasional VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di nusantara yang dimulai pada abad ke 17-an. VOC pada waktu itu memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa.
Sekarang, penjajah tidak perlu lagi bersusah payah melakukan ekspansi militer atau membunuhi rakyat di suatu negara untuk menguasai dan mengeruk kekayaan alamnya. Penjajah cukup mendorong privatisasi dan swastanisasi atas semua aset-aset negara tersebut kemudian menerapkan liberalisasi dan pasar bebas. Dan kita dapat melihat betapa mudahnya seluruh kekayaan dan aset-aset negara tersebut jatuh ke tangan-tangan penjajah itu. Jika penjajahan versi lama hanya merampas tanah dan rempah-rempah, maka penjajahan versi baru dengan wajah kapitalisme ini merampas seluruh kehidupan. Merampas hak-hak dasar rakyat, merampas kesejahteraan bersama diatas keserakahan segelintir orang-orang kaya, Kesenjangan ekonomi, kelaparan, kemiskinan dan kerusakan ekosistem yang terjadi dimana-mana.

Kapitalisme dan Kemakmuran Global

Demikianlah sistem kapitalisme mengatur perekonomian. Kapitalisme juga mengharuskan adanya kebijakan kompetisi atau competition policy di sektor-sektor yang semula merupakan sektor non-perdagangan dan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara seperti pada sektor listrik, sumber daya air, dan migas. Sektor listrik, energi dan migas, yang semula merupakan barang publik atau public goods dengan penguasaan dan pengendalian vertically integrated oleh negara, dirubah konsepnya menjadi komoditas ekonomis yang harganya mengikuti dinamika pasar.
Imbasnya, hanya yang kaya dan bermodal-lah yang mampu menguasai perekonomian. Karena sudah sedemikian bebasnya pasar dunia, monopoli perdagangan dan persaingan yang tidak adil pun semakin menjadi. Di bidang pertanian misalnya, perdagangan gandum dunia sekitar 80 % didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. 75 % pangsa pasar perdagangan pisang dunia, dikuasai oleh hanya lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa. Tiga perusahaan menguasai 83 % perdagangan kakao atau coklat, demikian juga dengan 85 % perdagangan teh. Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 % produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco dan Japan Tobacco.
Tiga ratus perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 % aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 Milyar USD hingga 126 Milyar USD, disatu sisi lainnya saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai GDP melebihi jumlah tersebut. Volume penjualan mereka mencapai 2 atau 3 dari volume penjualan perdagangan dunia, dan disatu sisi lainnya produksi mereka merupakan 1 atau 3 dari volume produksi dunia. 50 % dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 % dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.
Saat ini paling tidak ada empat perusahaan air yang menguasai sektor privatisasi air diseluruh dunia, yaitu Thames/Lyon, Vivendi, Veolia dan Suez. Mereka menguasai 75 % pangsa pasar air dunia dengan pendapatan sebesar 400 miliar – 3 triliun USD per tahun. Tahun 2001, sedikitnya terdapat 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), dengan total produksi sebesar 4,2 milyar liter. Dimana 65 % merupakan pangsa pasarnya Aqua miliknya Danone Group dan Ades kepunyaannya the Coca Cola Company, sedangkan sisanya yang 35 % diperebutkan oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Menurut data FAO, peruntukan air di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 93 % untuk pertanian, 6 % untuk konsumsi penduduk, 1 % untuk kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukan untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70 %. PDAM di berbagai daerah telah terprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan seperti Cascal BV, Thames, Vivendi, WMD dan beberapa perusahaan lain yang siap-siap merangsek menguasai PDAM di seluruh Indonesia. Indocement, produsen semen merk Tiga Roda dikuasai oleh Heidelberg, Semen Gresik dikangkangi oleh Cemex, bank BCA digenggam Farallon, bank Danamon pun demikian juga nasibnya, beralih tangan ke Temasek dan Deutche Bank. Perusahaan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel pun dimiliki oleh Temasek. 90 % pengelolaan tambang dikuasai beberapa perusahaan asing seperti Chevron, Exxon Mobile, Freeport , Total Indonesie dan masih banyak lagi.
WTO juga menyarankan belanja pemerintah agar di ”disiplinkan”. Jika selama ini tender untuk belanja pemerintah bersifat nasional, dengan adanya peraturan dari WTO ini, maka tender harus dibuka secara internasional dengan mengikutsertakan perusahaan multinasional.
Privatisasi tidak hanya terjadi pada sektor-sektor pelayanan publik. Pertanian yang berkaitan dengan pangan pun tak terkecuali, turut diliberalkan dan diprivatisasi oleh WTO. Sebagai contoh, saat ini sekitar seratus perusahaan multinasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih atau pestisida atau pupuk kimia atau produk pertanian atau pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70 % perdagangan pertanian dunia. Monsanto atau Syentega atau Astra Seneca atau Novartis atau Cargill telah menguasai hampir 75 % pasar global pestisida, menguasai 100 % pasar global bibit transgenik dan sekitar 25 % penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalti patennya. Korporasi-korporasi raksasa itu menguasai dan mengendalikan perdagangan dunia. Salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga, sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat, juga merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua. Selain itu juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.
Inilah tatanan ekonomi kapitalisme. Jika semua hal yang menyangkut kebutuhan mendasar bagi hajat hidup orang banyak hanya diperlakukan sebagai tak lebih dari sekedar komoditas bisnis semata, dan prinsip pasar bebas pun diterapkan pada semua lini tanpa kecuali termasuk di sektor pendidikan, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut perlindungan dan kebutuhan lainnya yang bersifat mendasar bagi warga negaranya, maka orang-orang kelompok rentan dan lemah seperti yang cacat, tua, sakit, miskin, buta-huruf, tak punya ketrampilan yang memadai menurut pasar kerja, dsb, akan selalu ketinggalan dan semakin terpinggirkan dalam kompetisi pasar versi kapitalisme. Alih-alih membawa kesejahteraan dan kemakmuran, kapitalisme justru malah memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan distribusi kekayaan, merampas hak-hak dasar rakyat dan semakin menggerogoti fungsi-fungsi sosial negara.
Data UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan 1 % warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 % warga termiskin. 5 % warga terkaya menguasai 114 kali lipat income yang diperoleh 5 % warga termiskin. Income warga terkaya di AS sama dengan jumlah income yang diterima 43 % penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di AS sama dengan pendapatan 2 Milyar warga dunia. Tahun 2000 di Amerika sendiri, 1 % warga Amerika yang terkaya mempunyai harta yang sama banyak dengan 95 % harta warga yang lain. Sedangkan 40 % rakyat termiskin hanya memegang 0.2 % kekayaan negara.
Di Indonesia, rentang antara pendapatan tertinggi dan terendah juga sangat lebar, karena sekitar 10 % penduduk terkaya masih menguasai sekitar 80 % aset nasional. Biaya kesehatan yang tinggi semakin memberatkan rakyat. Kriminalitas sejak tahun 1998 sampai sekarang naik 1.000 %. Di bidang pendidikan 4,5 juta anak tiap tahun putus sekolah. Fasilitas pendidikan seperti sekolah dan kelengkapannya terabaikan. Kekurangan gizi mencapai angka 8 % dari total jumlah anak balita. Kwik Kian Gie pernah melaporkan kasus di dua desa, yakni Desa Klungkung (10 kilometer dari kota Jember) dan di Gadingrejo (Juwana) yang pernah dikunjunginya semasa ia masih Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Rakyat miskin di dua desa itu hidup hanya dengan Rp 1.250 atau sekitar 0,13 dollar AS per hari per orang. Dengan pendapatan sebesar itu, mereka setiap hari hanya bisa makan dua kali, itu pun bubur sangat encer hanya dengan lauk garam. Kadang ada sayuran, tetapi kadang kala juga tidak ada. Daging tidak pernah mereka lihat. Pengangguran meningkat 1 juta orang setiap tahunnya.
Melihat kenyataan ini, pemerintah tidak serta merta mencari solusi tuntas untuk menyelesaikan inti persoalannya. Malah menambah utang untuk menutupi defisit APBN 2006. Padahal utang luar negeri Indonesia sudah mencapai hampir Rp.2000 triliun. Artinya, jika di bagi dengan jumlah penduduk, setiap manusia Indonesia rata-rata memikul utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 10 juta per kepala.

Jumat, 03 April 2009

ANAK CUCU KITA MEWARISI HUTANG Rp.2000 TRYLIUN


Sejak 1970 Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang (loan agreement) dengan pihak luar negeri. Jumlah hutang luar negeri saat ini kira kira Rp 2.000 trilyun. Yang bikin miris, dari utang segede itu, ternyata yang termanfaatkan dan digunakan hanya 44%. Sisanya, sebanyak 56%, tersia-sia alias mubazir.

Padahal, ketika loan agreement itu ditandatangani, meski dananya belum mengucur, Indonesia wajib membayar biaya komitmen (commitment fee) dan bunganya. Walhasil, saban tahun, pemerintah terbebani membayar dua jenis biaya itu sampai Rp 2,02 trilyun. Belum lagi, dari 44% yang digunakan itu, ternyata sebagian ada yang macet.

Akibatnya, bunganya terus menggelembung seiring dengan menguatnya kurs dolar dan anjloknya nilai tukar rupiah. Karena itu ada satu daerah yang utangnya mula-mula Rp 27 milyar, lantaran macet, membengkak jadi Rp 80 milyar. Ada juga utang luar negeri yang dipinjam dengan skema dana talangan. Dalam skema ini, pemerintah membiayai dulu proyeknya. Setelah proyek itu jadi, dana yang talangan pemerintah tadi ditagih kepada peminjam (lender).

Celakanya, lender acapkali ingkar, tidak mengucurkan dana, meski loan agreement telah ditandatangani dan commitment fee serta bunganya sudah dibayar. Pemerintah jadi rugi dua kali, sudah keluar duit, harus membayar bunga pula. Jelas negara sangat dirugikan dengan pengelolaan utang luar negeri yang amburadul ini.

Anak bangsa kian sengsara tercekik utang. Sebab hampir 30% dari total dana APBN dipakai untuk membayar utang, dua pertiganya digunakan untuk membayar bunga. "Indonesia sejak dulu tidak punya borrowing strategy (strategi peminjaman) dan tidak ada studi kelayakan untuk setiap proyek yang didanai dengan utang,".

Buktinya, ada pemerintah daerah yang mencari pinjaman, katanya, untuk membangun sanitasi, tapi realisasinya malah untuk membeli mobil dinas. Dalam persoalan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harusnya menjadi ujung tombak pengelolaan pinjaman itu, karena persetujuan dikucurkannya utang luar negeri dikeluarkan Bappenas.

Sayang, borrowing strategy dan studi kelayakan tidak dilakukan. "Kalaupun ada, hanya di atas kertas, tapi pelaksanaannya menyimpang. Indonesia baru memiliki borrowing strategy setelah diterbikannya Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Sebelum terbit PP Nomor 2 Tahun 2006, pengelolaan dana pinjaman agak terkendala. Banyak proyek yang ternyata belum siap dikerjakan, padahal loan agreement telah ditandatangani dan pemerintah sudah harus membayar biaya komitmen serta bunganya. Namun, setelah PP itu terbit, setiap proposal peminjaman harus menjalani studi kelayakan.

"Jeratan utang membuat negara rusak. Kita jadi tidak berwibawa di mata negara lain,". Utang luar negeri yang kebanyakan dalam mata uang asing sering dijadikan senjata oleh kreditur untuk makin memurukkan Indonesia. "Kasus krisis moneter tahun 1997 harusnya jadi pelajaran,".

Ketika itu, utang luar negeri Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya banyak yang jatuh tempo. Namun, pada saat bersamaan, dolar yang dibutuhkan untuk melunasi utang diborong spekulan. Harga dolar melambung gila-gilaan, sehingga utang luar negeri pun membengkak. Indonesia masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya, selama itu pula kita dan anak-cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing.

Kamis, 26 Februari 2009

ILLEGAL FISHING, Kejahatan Transnasional yang dibiarkan

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia.Sebaliknya, masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD9 miliar per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp30-40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.500 pulau. Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial.
Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing.
Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia)।

Akar Masalah
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula?
Hal ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004 yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia। Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing। Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.
Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7।000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Sedangkan di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.

Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing। Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo।31/2004 tentang perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa। Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance)।

Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya। Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

Keenam, kurangnya koordinasi antar-departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia। Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah.

Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC। Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing। Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Dampak dan Solusi
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut। Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, bisa kita lihat Philipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia.

Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal.
Di samping itu, para pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar।

Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU Anti Illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut.
Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia)।

Demikian pula pelaksanaan Permen no 17 tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak.
Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih पेलाकुन्य।

Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing। Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang।

Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

PEMBALAKAN HUTAN SECARA LIAR TELAH MERUGIKAN NEGARA RATUSAN TRILIUN

Sepanjang 2007 merupakan tahun kegagalan penanganan bidang kehutanan. Masih sedikit pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang divonis bersalah dan hanya satu kasus yang pelakunya dijerat hukum.
Meskipun banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging.
Karena itu tahun 2007 sebagai tahun kegagalan pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Sepanjang 2007 jarang ada kasus korupsi kehutanan yang divonis bersalah. Satu-satunya kasus pembalakan liar yang dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi yakni kasus sejuta hektare kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim). “Itu pun dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor,”.
Kasus lain yang berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Antikorupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan kasasi, hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Kerugian negara dari nilai kayu akibat pembalakan liar di Indonesia pada 2007 mencapai Rp20,873 triliun. Bayangkan apabila diakumulasikan kerugian akibat pembalakan liar sejak orde baru, bisa ratusan triliun kerugian yang dialami rakyat dan Negara Indonesia. Ironisnya penyelesaian kasus pembalakan liar yang menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.
Selain itu, masih terjadi simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan. Hal itu telah menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Kesimpangsiuran itu telah mengakibatkan banyak terdakwa yang lepas dari hukuman penjara dan pengembalian uang negara.
Pengungkapan kasus pembalakan liar yang terkait korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal ada sekitar enam analisis PPATK yang menggambarkan proses suap di antara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan aparat pemerintah. “Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK itu disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan,”.
Dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi yang menyangkut hutan ke pelanggaran administrasi. Akibatnya, banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi belaka.
“Menanggapi trik tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus menggunakan formulasi bahwa pelanggaran administrasi pengusahaan kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi,”.