Senin, 10 Agustus 2009

KEBANGKITAN WAHABI DI INDONESIA

Sejak bergulir Reformasi dapat kita tandai dengan adanya kebangkitan berbagai aliran gerakan. Tidak terkecuali Islam. Pada umumnya, gerakan-gerakan baru Islam ini mengusung faham Salafi. Tercatat sejumlah gerakan dalam aliran ini: Fron Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar Ahlussunah wal Jamaah, dan lain-lain. Beberapa di antaranya sudah membubarkan diri. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk kategori gerakan ini.

Bagaimana pengelompokan ini didasarkan? Dalam tradisi Islam, aliran Salafi mengacu pada pandangan madzhab salaf. Karakteristik menonjol aliran ini, di antaranya, seruan kembali ke Al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan kecenderungan penafsiran secara tekstual dengan mengabaikan konteks, dan semangat meniru generasi salaf al-shalih yang dielu-elukan sebagai masa paling ideal.

Ibnu Taymiah dikenal sebagai penggagas awal teologi Salafi. Istilah Salafi, bisa dikatakan, muncul sejak Ibnu Taymiah ini. Kata “salafi” merujuk ke generasi salaf al-shalih. Sepeninggal Ibnu Taymiah, teologi Salafi makin berkembang. Beberapa kurun selanjutnya, di tanah Najd, Semenanjung Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab mengembangkan teologi Salafi dengan lebih spesifik dan makin tajam. Pengembangan teologi oleh Muhammad bin Abdul Wahab dikenal dengan aliran Wahabi. Bagi pengikut Wahabi, istilah ini terdengar kurang baik. Mereka lebih suka disebut pengikut Salafisme.
Pada awal abad 20, pemikiran Ibnu Taymiah dan Muhammad bin Abdul Wahab, sedikit banyak, menjadi pemantik pemikiran Muhammad Abduh. Berangkat dari perpaduan ajaran Ibnu Taymiah dan pencarian Muhammad Abduh, gerakan salafi lantas dikembangkan dengan lebih tertata melalui gerakan Ikhwanul Muslimin. Tokoh paling penting pemberi warna ideologi gerakan ini adalah Sayyid Qutub. Di kalangan islamisis (pakar kajian keislaman), pemikiran Sayyid Qutub disebut dengan istilah Salafi Modern.

Di Indonesia, pemikiran-pemikiran Salafi dibawa oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berdiri. Organisasi ini menyebut dirinya sebagai persyarikatan kaum Puritan Islam. Untuk pertama kali, dalam disertasi doktornya, Deliar Noer menyematkan Muhammadiyah sebagai gerakan Modernis. Sebuah istilah, yang saya duga, untuk menstigma organisasi sejawatnya, Nahdlatul Ulama (NU) agar identik dengan gerakan kampungan.

Hal menarik dari perjalanan Muhammadiyah, selama beberapa dasawarsa awal, organisasi ini lebih cenderung mengadopsi Salafisme Wahabi. Perubahan penting terjadi menjelang tahun 80-an beberapa saat setelah terjadi Revolusi oleh para mullah Syiah di Iran. Keberhasilan Revolusi Iran tahun 1979 menciptakan kegairahan baru dunia Islam. Dimana-mana orang menganggap bahwa Revousi ini adalah awal dari kebangkitan dunia Islam yang selama beberapa abad mengalami kemunduran. Muslim Indonesia tidak terkecuali. Meski Revolusi itu terjadi di Iran, tetapi Ikhwanul Muslimin, yang bersumber di Mesir, mendapat berkah. Ikhwanul Muslimin mendadak populer. Di Indonesia, terjemahan buku-buku Sayyid Qutub laris. Apa sebab? Bagi kalangan Muslim Indonesia, pemikiran Sayyid Qutub lebih bisa diterima, karena sama-sama Sunni. Selain itu, Sayyid Qutub mampu meramu pemikirannya dengan amat tertata. Bersamaan dengan tren ini, Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Salafi Modern. Sebuah pemikiran yang lebih moderat dibanding Salafi Wahabi. Apa alasannya? Wahabi gampang menyalahkan dan membid’ahkan kaum Muslim yang tidak sepaham. Saya kurang sepakat dengan pendapat Karen Armstrong yang menyatakan bahwa Qutubisme (merujuk ke pemikiran Sayyid Qutub) lebih radikal dibanding Wahabi, seperti tulisannya di The Guardian, 11 Juli 2005. Yang lebih tepat, sebaliknya.

Pilihan Muhammadiyah ini tidak terlepas dari peran anak-anak muda kala itu. Kemunculan tokoh seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi’I Maarif, Affan Ghafar, Syafiq Mughni, M Amin Abdulla, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman -–untuk menyebut beberapa nama saja-- adalah penanda kebangkitan Muhammadiyan baru. Di tangan mereka, Muhammadiyah menjadi organsisasi Islam moderat dan makin disegani. Diperkuat lagi dengan akomodasi politik Suharto dalam perlakuannya terhadap organisasi-organisasi Islam, dengan memanjakan organisasi Islam Puritan ini. Wajah keras Wahabisme di tangan mereka perlahan luntur. Apa buktinya? Perang TBC (Taqlid, Bid’ah & Churafat) yang selama bertahun-tahun menjadi agenda utama, perlahan-lahan mereda. Bahkan beberapa tahun lalu, sebagian warga Muhammadiyah mulai mempertanyakan keefektivan cara dakwah “keras” ini. Mereka mengusulkan dakwah kultural, yang tidak lagi dengan gampang menyebut orang lain bid’ah hanya karena berdakwah dengan pendekatan budaya setempat. Di tangan tokoh-tokoh moderat ini pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak serta merta dijiplak utuh. Mereka membuang jauh-jauh ide pan-Islamisme, mengambil hanya sisi pemikiran gerakan sosialnya. Suatu saat, Amien Rais mengatakan: Tidak ada negara Islam.

Apakah usaha mereka berhasil? Selama beberapa dekade, iya. Namun, di tataran massa Muhammadiyah, kegandrungan pada pemikiran Sayyid Qutub tidak hanya terbatas pada pemikiran sosialnya, tetapi juga pada politisnya. Pada saat suara-suara warga ini tidak ditampung oleh elit-elit Muhammadiyah, mereka lebih memilih bermain di luar area. Gerakan usroh, tarbiyah, halaqah, dan sejenisnya, yang menjamur di lingkungan kampus dan masjid, merupakan bentuk luapan kegelisahan anak-anak muda dan suara protes tidak langsung. PKS berkembang dari gerakan protes ini.

Di samping itu, kepulangan para veteran perang Afghanistan pasca kejatuhan Uni Soviet memberi warna baru. Persentuhan langsung dengan para pejuang dari negara lain selama perang pembebasan Afghanistan makin memperteguh Wahabisme mereka. Pengalaman tempur di medan perang menambah keyakinan bahwa otot dan senjata menjadi identitas baru. Sebuah identitas kekerasan.

Akan tetapi, sekembali mereka di Tanah Air, ide Wahabisme yang mereka bawa tidak diberi tempat oleh elit Muhammadiyah kala itu. Mereka lantas mendirikan atau berkumpul dalam organisasi-organisasi baru, seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir. Organisasi ini adalah diantara organsisasi yang menjadi pilihan warga Muhammadiyah yang menganggap organisasi ini terlalu lembek dalam menyuarakan kepentingan baru mereka. Bahkan, dalam kaitan dengan Syariat Islam, Muhammadiyah pernah dituduh sebagai banci oleh warganya yang radikal. Dulu, warga Muhammadiyah garis kanan, seperti Ali Imran, Amrozi, Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Baasyir, tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. (Ahmad Najib Burhani, Menebak Masa Depan Liberalisme di Muhammadiyah, Islam Progresif, message no. 1519). Mereka inilah Neo-Wahabi itu, gerakan Wahabi baru yang dipadu dengan kemampuan tempur yang dibawanya ke tengah-tengah masyarakat.

Kini, sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 3-8 Juli 2005, para veteran itu sudah kembali menguasai Muhammadiyah. Tokoh-tokoh moderat tersingkir. MUI pun sepertinya sudah mulai direngkuhnya. Apa indikasinya? Fatwa-fatwa keluaran MUI baru-baru ini terlihat memiliki kesan terwarnai oleh tangan-tangan Neo-Wahabi tersebut. Mereka mengagungkan teks secara berlebihan dengan mengabaikan konteks Mereka mudah membid’ahkan dan mensesatkan segala bentuk perbedaan. Gampang menyerbu bukan kelompok sepaham, tanpa toleransi. Gampang mencibir kalangan Islam yang bukan pengikut mati generasi salaf al-shalih. Kata-kata “bid’ah”, “kafir”, “musuh Islam”, “penghancur Islam dari dalam”, dan seterusnya, mudah menjadi ungkapan harian.

Dengan kebangkitan Neo-Wahabi ini, kita bisa menebak arah perjalanan Islam Indonesia ke depan. Wajah Islam Indonesia mulai memunculkan ketidak-ramahan. Akankah semua ini dibiarkan?

Jumat, 12 Juni 2009

NEOLIBERALISME DI INDONESIA

Jejak ekonomi Neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.

Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari Sosialisme ke arah semi Kapitalisme.

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri, maupun sektor perdagangan.

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat itu.

Masa pembangunan ekonomi Orba pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu, paling tidak, dapat diukur dari beberapa indikator utama yaitu:

1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.
4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

Dampak yang Ditimbulkan
Dampak ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:

1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) --baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.

Sebagai contoh di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu itu, yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia.

Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH.

Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal menuai getahnya.

Menurut laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan tahun 2003) diperkirakan kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta hektar dengan laju pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta hektar per tahun.

Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orba, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah Pertamina dan sebagian kecil swasta nasional lainnya.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi minyak di dalam negeri maka mulai November 2005 Pemerintah membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam negeri maupun asing.

Jika Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat dipastikan bahwa harga BBM bakal naik lagi. Namun, dengan merek yang berbeda-beda. Paling tidak sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan batubara 23,5% kebutuhan energi dunia.

Hampir sepertiga cadangan batubara dunia ada di kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara, termasuk yang ditemukan produsen dan kontraktor kerja sama, sampai tahun 2001 mencapai 145,8 miliar ton.

Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta. Dari total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6% dihasilkan oleh penambang swasta.

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar.

Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang menguntungkan Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya. Dimulai sejak tahun 1967.

Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Pada
Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apa pun.

Pada tahun 1988 secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg. Kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.

Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta.

Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana pengembangan masyarakat Papua yaitu sebesar US$ 15 juta.

Pada zaman Reformasi nasib PT FI semakin bersinar. Pada tahun 2001 laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta.

Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan,dari laba bersih sebesar itu sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%. Sedangkan PT FI menguasai 90,64%.

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk FI, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya.

Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing.

2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang (debt trap). Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional yang berbasis pada sistem bunga.

Akibat krisis itu 16 bank dilikuidasi Pemerintah. 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil-alih (BTO). Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional hingga Desember 2000 Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun.

Akibatnya utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya US$ 55 miliar, kini membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri) ditambah Rp 695 triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir.

Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi.

Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah harus mengeluarkan sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 triliun pada tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018.

Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya (baca tulisan saya di opini detik.com tanggal 30 April 2008 tentang "Beban Obligasi Rekap"). Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat itu sudah mencapai 17.7%. Naik dari sekitar 10% pada Semester I tahun 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan suku bunga sebesar satu persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar Pemerintah naik Rp 2,2 triliun.

Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank ditutup, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan Indonesia. Akibat penutupan itu Pemerintah tentu harus menanggung seluruh kerugian nasabah.

Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada rakyat melalui APBN. Hal itu belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan oleh sejumlah orang ke Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran. Bahkan, triliunan rupiah.

Sampai saat ini tanggungan Pemerintah untuk dunia perbankan belum juga susut. Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati obligasi Pemerintah. Hal itu membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun setiap tahunnya.

Sekali lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat melalui pembayaran pajak.

Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank yang sudah mulai sehat harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang lain di lingkup BUMN. Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di bank besar seperti BCA dan Bank Danamon harus dijual ke investor asing.

Nasib yang sama juga menimpa BUMN sehat lainnya seperti Indosat Tbk, Telkom Tbk, Wisma Nusantara Indonesia, Bukit Asam Tbk, Semen Gresik, Pelindo II, dan lain-lain.

3. Munculnya kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok.

Pada tahun 1993 omset dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya di antaranya Om Liem (Salim
Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia tahun itu.

Di sisi lain, jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data BPS 1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di kota dan 26 juta di desa).

Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal. Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang rakyat miskin.

Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat diterapkannya ekonomi Neoliberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam saja menyaksikan semua ini.

Kesabaran rakyat sudah habis. Saatnya momentum Kebangkitan Nasional ini rakyat menggugat agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan dengan benar demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Senin, 04 Mei 2009

KAPITALISME DAN PENJAJAHAN EKONOMI

Pada tahun 1979 Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris, dan tahun 1980 Ronald Reagan terpilih sebagai presiden AS. Kedua tokoh ini sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara. Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini, terjadilah pergeseran prioritas dan perubahan secara fundamental terhadap peran pemerintah dengan cepat, meninggalkan komitmen pemerintah sebelumnya dalam welfare state dan full employment dengan lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik.
Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga. Mereka serempak melakukan pemotongan atas subsidi, beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neo-liberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh negara-negara lainnya tak terkecuali negara-negara Asia. Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Perubahan itu juga ditandai dengan dijualnya perusahaan-perusahaan negara kepada swasta, pasar bebas dan penghapusan subsidi kepada rakyat.

Kapitalisme dan Penjajahan Ekonomi

Asumsi neo-liberalisme adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Maka terjadilah berbagai pemindahan regulasi dari lingkup arena sosial menjadi lingkup urusan personal saja. Apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial yang merupakan persoalan yang membutuhkan peran negara―seperti kemiskinan, kesehatan, pengangguran, penanganan bencana alam, pendidikan dan sebagainya―kemudian dianggap hanya menjadi masalah individual atau personal semata yang hanya membutuhkan kebijakan individual self-care atau social self-care saja tanpa peran aktif negara. Kebijakan subsidi seperti di negara welfare state sedikit demi sedikit dihapuskan. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar.
Jadi, sebenarnya mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neo-liberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Yaitu dengan berpegang secara utuh pada ajaran invisible hands-nya Adam Smith. Adam smith percaya bahwa kebebasan ekonomi, tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, akan membawa kesejahteraan dan kemajuan.
Untuk dapat merambah dunia, neo-liberalisme melakukan tiga tahapan; (1) privatisasi (2) liberalisasi dan (3) pasar bebas. Dimotori organisasi seperti IMF-Word Bank-CGI-Paris Club dan sebagainya yang di drive oleh WTO, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode yang mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan diatas antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Metode seperti ini cukup berhasil, bahkan di beberapa negara cukup dengan menawarkan investasi asing atau paling keras memaksakan deregulasi ekonomi sebagai persyaratan cairnya utang luar negeri, seperti Indonesia. Namun tak jarang, penolakan suatu negara mengharuskan mereka melakukan tekanan militer, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak. Duniapun menjadi ”rata” dengan satu tata aturan, sehingga para kapitalis atau konglomerat dari negara mana saja dengan mudah dapat menguasai apapun yang mereka inginkan dan dimanapun. Negara lain seolah-olah menjadi pekarangan atau ladang mereka yang bisa mereka petik hasilnya kapanpun mereka inginkan.
Namun umumnya masyarakat, masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki kesadaran ideologis berpendapat bahwa investasi asing yang masuk ke dalam negeri akan secara langsung berpengaruh pada peningkatan taraf perekonomian rakyat secara keseluruhan. Karenanya pemerintah membuka jalan sebesar-besarnya kepada investor asing untuk berinvestasi, termasuk di sektor-sektor publik. Padahal jika kita mencoba lebih kritis, investasi asing sesungguhnya membawa misi-misi tertentu yang tujuannya tidak lain untuk semakin memperkaya diri investor itu sendiri.
Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah untuk senantiasa menyadari fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Pemerintah harus menyadari kewajibannya dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan jaminan hidup bagi rakyat tidak mampu. Investasi asing harus dicermati agar tidak sampai mengganggu pelayanan pemerintah pada sektor publik atau bahkan mengambil alih fungsi pemerintah dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat. Investasi asing ataupun utang luar negeri yang masuk jangan selalu dianggap sebagai ”penolong” yang bisa mengangkat taraf ekonomi rakyat, karena seringkali investasi asing termasuk utang luar negeri sengaja dijadikan sebagai kedok untuk selanjutnya menekan dan menguasai atau merampok aset-aset yang dimiliki oleh negara-negara berkembang.
Jika investasi asing yang terjadi sampai merenggut kekayaan alam yang kita miliki dan membawa sebagian besar hasilnya ke luar negeri, ini sama artinya kita dijajah secara ekonomi. Persis seperti aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan multinasional VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di nusantara yang dimulai pada abad ke 17-an. VOC pada waktu itu memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa.
Sekarang, penjajah tidak perlu lagi bersusah payah melakukan ekspansi militer atau membunuhi rakyat di suatu negara untuk menguasai dan mengeruk kekayaan alamnya. Penjajah cukup mendorong privatisasi dan swastanisasi atas semua aset-aset negara tersebut kemudian menerapkan liberalisasi dan pasar bebas. Dan kita dapat melihat betapa mudahnya seluruh kekayaan dan aset-aset negara tersebut jatuh ke tangan-tangan penjajah itu. Jika penjajahan versi lama hanya merampas tanah dan rempah-rempah, maka penjajahan versi baru dengan wajah kapitalisme ini merampas seluruh kehidupan. Merampas hak-hak dasar rakyat, merampas kesejahteraan bersama diatas keserakahan segelintir orang-orang kaya, Kesenjangan ekonomi, kelaparan, kemiskinan dan kerusakan ekosistem yang terjadi dimana-mana.

Kapitalisme dan Kemakmuran Global

Demikianlah sistem kapitalisme mengatur perekonomian. Kapitalisme juga mengharuskan adanya kebijakan kompetisi atau competition policy di sektor-sektor yang semula merupakan sektor non-perdagangan dan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara seperti pada sektor listrik, sumber daya air, dan migas. Sektor listrik, energi dan migas, yang semula merupakan barang publik atau public goods dengan penguasaan dan pengendalian vertically integrated oleh negara, dirubah konsepnya menjadi komoditas ekonomis yang harganya mengikuti dinamika pasar.
Imbasnya, hanya yang kaya dan bermodal-lah yang mampu menguasai perekonomian. Karena sudah sedemikian bebasnya pasar dunia, monopoli perdagangan dan persaingan yang tidak adil pun semakin menjadi. Di bidang pertanian misalnya, perdagangan gandum dunia sekitar 80 % didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. 75 % pangsa pasar perdagangan pisang dunia, dikuasai oleh hanya lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa. Tiga perusahaan menguasai 83 % perdagangan kakao atau coklat, demikian juga dengan 85 % perdagangan teh. Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 % produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco dan Japan Tobacco.
Tiga ratus perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 % aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 Milyar USD hingga 126 Milyar USD, disatu sisi lainnya saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai GDP melebihi jumlah tersebut. Volume penjualan mereka mencapai 2 atau 3 dari volume penjualan perdagangan dunia, dan disatu sisi lainnya produksi mereka merupakan 1 atau 3 dari volume produksi dunia. 50 % dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 % dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.
Saat ini paling tidak ada empat perusahaan air yang menguasai sektor privatisasi air diseluruh dunia, yaitu Thames/Lyon, Vivendi, Veolia dan Suez. Mereka menguasai 75 % pangsa pasar air dunia dengan pendapatan sebesar 400 miliar – 3 triliun USD per tahun. Tahun 2001, sedikitnya terdapat 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), dengan total produksi sebesar 4,2 milyar liter. Dimana 65 % merupakan pangsa pasarnya Aqua miliknya Danone Group dan Ades kepunyaannya the Coca Cola Company, sedangkan sisanya yang 35 % diperebutkan oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Menurut data FAO, peruntukan air di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 93 % untuk pertanian, 6 % untuk konsumsi penduduk, 1 % untuk kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukan untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70 %. PDAM di berbagai daerah telah terprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan seperti Cascal BV, Thames, Vivendi, WMD dan beberapa perusahaan lain yang siap-siap merangsek menguasai PDAM di seluruh Indonesia. Indocement, produsen semen merk Tiga Roda dikuasai oleh Heidelberg, Semen Gresik dikangkangi oleh Cemex, bank BCA digenggam Farallon, bank Danamon pun demikian juga nasibnya, beralih tangan ke Temasek dan Deutche Bank. Perusahaan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel pun dimiliki oleh Temasek. 90 % pengelolaan tambang dikuasai beberapa perusahaan asing seperti Chevron, Exxon Mobile, Freeport , Total Indonesie dan masih banyak lagi.
WTO juga menyarankan belanja pemerintah agar di ”disiplinkan”. Jika selama ini tender untuk belanja pemerintah bersifat nasional, dengan adanya peraturan dari WTO ini, maka tender harus dibuka secara internasional dengan mengikutsertakan perusahaan multinasional.
Privatisasi tidak hanya terjadi pada sektor-sektor pelayanan publik. Pertanian yang berkaitan dengan pangan pun tak terkecuali, turut diliberalkan dan diprivatisasi oleh WTO. Sebagai contoh, saat ini sekitar seratus perusahaan multinasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih atau pestisida atau pupuk kimia atau produk pertanian atau pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70 % perdagangan pertanian dunia. Monsanto atau Syentega atau Astra Seneca atau Novartis atau Cargill telah menguasai hampir 75 % pasar global pestisida, menguasai 100 % pasar global bibit transgenik dan sekitar 25 % penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalti patennya. Korporasi-korporasi raksasa itu menguasai dan mengendalikan perdagangan dunia. Salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga, sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat, juga merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua. Selain itu juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.
Inilah tatanan ekonomi kapitalisme. Jika semua hal yang menyangkut kebutuhan mendasar bagi hajat hidup orang banyak hanya diperlakukan sebagai tak lebih dari sekedar komoditas bisnis semata, dan prinsip pasar bebas pun diterapkan pada semua lini tanpa kecuali termasuk di sektor pendidikan, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut perlindungan dan kebutuhan lainnya yang bersifat mendasar bagi warga negaranya, maka orang-orang kelompok rentan dan lemah seperti yang cacat, tua, sakit, miskin, buta-huruf, tak punya ketrampilan yang memadai menurut pasar kerja, dsb, akan selalu ketinggalan dan semakin terpinggirkan dalam kompetisi pasar versi kapitalisme. Alih-alih membawa kesejahteraan dan kemakmuran, kapitalisme justru malah memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan distribusi kekayaan, merampas hak-hak dasar rakyat dan semakin menggerogoti fungsi-fungsi sosial negara.
Data UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan 1 % warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 % warga termiskin. 5 % warga terkaya menguasai 114 kali lipat income yang diperoleh 5 % warga termiskin. Income warga terkaya di AS sama dengan jumlah income yang diterima 43 % penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di AS sama dengan pendapatan 2 Milyar warga dunia. Tahun 2000 di Amerika sendiri, 1 % warga Amerika yang terkaya mempunyai harta yang sama banyak dengan 95 % harta warga yang lain. Sedangkan 40 % rakyat termiskin hanya memegang 0.2 % kekayaan negara.
Di Indonesia, rentang antara pendapatan tertinggi dan terendah juga sangat lebar, karena sekitar 10 % penduduk terkaya masih menguasai sekitar 80 % aset nasional. Biaya kesehatan yang tinggi semakin memberatkan rakyat. Kriminalitas sejak tahun 1998 sampai sekarang naik 1.000 %. Di bidang pendidikan 4,5 juta anak tiap tahun putus sekolah. Fasilitas pendidikan seperti sekolah dan kelengkapannya terabaikan. Kekurangan gizi mencapai angka 8 % dari total jumlah anak balita. Kwik Kian Gie pernah melaporkan kasus di dua desa, yakni Desa Klungkung (10 kilometer dari kota Jember) dan di Gadingrejo (Juwana) yang pernah dikunjunginya semasa ia masih Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Rakyat miskin di dua desa itu hidup hanya dengan Rp 1.250 atau sekitar 0,13 dollar AS per hari per orang. Dengan pendapatan sebesar itu, mereka setiap hari hanya bisa makan dua kali, itu pun bubur sangat encer hanya dengan lauk garam. Kadang ada sayuran, tetapi kadang kala juga tidak ada. Daging tidak pernah mereka lihat. Pengangguran meningkat 1 juta orang setiap tahunnya.
Melihat kenyataan ini, pemerintah tidak serta merta mencari solusi tuntas untuk menyelesaikan inti persoalannya. Malah menambah utang untuk menutupi defisit APBN 2006. Padahal utang luar negeri Indonesia sudah mencapai hampir Rp.2000 triliun. Artinya, jika di bagi dengan jumlah penduduk, setiap manusia Indonesia rata-rata memikul utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 10 juta per kepala.

Jumat, 03 April 2009

ANAK CUCU KITA MEWARISI HUTANG Rp.2000 TRYLIUN


Sejak 1970 Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang (loan agreement) dengan pihak luar negeri. Jumlah hutang luar negeri saat ini kira kira Rp 2.000 trilyun. Yang bikin miris, dari utang segede itu, ternyata yang termanfaatkan dan digunakan hanya 44%. Sisanya, sebanyak 56%, tersia-sia alias mubazir.

Padahal, ketika loan agreement itu ditandatangani, meski dananya belum mengucur, Indonesia wajib membayar biaya komitmen (commitment fee) dan bunganya. Walhasil, saban tahun, pemerintah terbebani membayar dua jenis biaya itu sampai Rp 2,02 trilyun. Belum lagi, dari 44% yang digunakan itu, ternyata sebagian ada yang macet.

Akibatnya, bunganya terus menggelembung seiring dengan menguatnya kurs dolar dan anjloknya nilai tukar rupiah. Karena itu ada satu daerah yang utangnya mula-mula Rp 27 milyar, lantaran macet, membengkak jadi Rp 80 milyar. Ada juga utang luar negeri yang dipinjam dengan skema dana talangan. Dalam skema ini, pemerintah membiayai dulu proyeknya. Setelah proyek itu jadi, dana yang talangan pemerintah tadi ditagih kepada peminjam (lender).

Celakanya, lender acapkali ingkar, tidak mengucurkan dana, meski loan agreement telah ditandatangani dan commitment fee serta bunganya sudah dibayar. Pemerintah jadi rugi dua kali, sudah keluar duit, harus membayar bunga pula. Jelas negara sangat dirugikan dengan pengelolaan utang luar negeri yang amburadul ini.

Anak bangsa kian sengsara tercekik utang. Sebab hampir 30% dari total dana APBN dipakai untuk membayar utang, dua pertiganya digunakan untuk membayar bunga. "Indonesia sejak dulu tidak punya borrowing strategy (strategi peminjaman) dan tidak ada studi kelayakan untuk setiap proyek yang didanai dengan utang,".

Buktinya, ada pemerintah daerah yang mencari pinjaman, katanya, untuk membangun sanitasi, tapi realisasinya malah untuk membeli mobil dinas. Dalam persoalan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harusnya menjadi ujung tombak pengelolaan pinjaman itu, karena persetujuan dikucurkannya utang luar negeri dikeluarkan Bappenas.

Sayang, borrowing strategy dan studi kelayakan tidak dilakukan. "Kalaupun ada, hanya di atas kertas, tapi pelaksanaannya menyimpang. Indonesia baru memiliki borrowing strategy setelah diterbikannya Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Sebelum terbit PP Nomor 2 Tahun 2006, pengelolaan dana pinjaman agak terkendala. Banyak proyek yang ternyata belum siap dikerjakan, padahal loan agreement telah ditandatangani dan pemerintah sudah harus membayar biaya komitmen serta bunganya. Namun, setelah PP itu terbit, setiap proposal peminjaman harus menjalani studi kelayakan.

"Jeratan utang membuat negara rusak. Kita jadi tidak berwibawa di mata negara lain,". Utang luar negeri yang kebanyakan dalam mata uang asing sering dijadikan senjata oleh kreditur untuk makin memurukkan Indonesia. "Kasus krisis moneter tahun 1997 harusnya jadi pelajaran,".

Ketika itu, utang luar negeri Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya banyak yang jatuh tempo. Namun, pada saat bersamaan, dolar yang dibutuhkan untuk melunasi utang diborong spekulan. Harga dolar melambung gila-gilaan, sehingga utang luar negeri pun membengkak. Indonesia masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya, selama itu pula kita dan anak-cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing.

Kamis, 26 Februari 2009

ILLEGAL FISHING, Kejahatan Transnasional yang dibiarkan

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia.Sebaliknya, masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD9 miliar per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp30-40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.500 pulau. Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial.
Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing.
Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia)।

Akar Masalah
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula?
Hal ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004 yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia। Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing। Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.
Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7।000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Sedangkan di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.

Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing। Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo।31/2004 tentang perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa। Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance)।

Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya। Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

Keenam, kurangnya koordinasi antar-departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia। Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah.

Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC। Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing। Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Dampak dan Solusi
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut। Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, bisa kita lihat Philipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia.

Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal.
Di samping itu, para pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar।

Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU Anti Illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut.
Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia)।

Demikian pula pelaksanaan Permen no 17 tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak.
Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih पेलाकुन्य।

Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing। Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang।

Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

PEMBALAKAN HUTAN SECARA LIAR TELAH MERUGIKAN NEGARA RATUSAN TRILIUN

Sepanjang 2007 merupakan tahun kegagalan penanganan bidang kehutanan. Masih sedikit pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang divonis bersalah dan hanya satu kasus yang pelakunya dijerat hukum.
Meskipun banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging.
Karena itu tahun 2007 sebagai tahun kegagalan pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Sepanjang 2007 jarang ada kasus korupsi kehutanan yang divonis bersalah. Satu-satunya kasus pembalakan liar yang dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi yakni kasus sejuta hektare kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim). “Itu pun dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor,”.
Kasus lain yang berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Antikorupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan kasasi, hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Kerugian negara dari nilai kayu akibat pembalakan liar di Indonesia pada 2007 mencapai Rp20,873 triliun. Bayangkan apabila diakumulasikan kerugian akibat pembalakan liar sejak orde baru, bisa ratusan triliun kerugian yang dialami rakyat dan Negara Indonesia. Ironisnya penyelesaian kasus pembalakan liar yang menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.
Selain itu, masih terjadi simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan. Hal itu telah menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Kesimpangsiuran itu telah mengakibatkan banyak terdakwa yang lepas dari hukuman penjara dan pengembalian uang negara.
Pengungkapan kasus pembalakan liar yang terkait korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal ada sekitar enam analisis PPATK yang menggambarkan proses suap di antara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan aparat pemerintah. “Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK itu disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan,”.
Dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi yang menyangkut hutan ke pelanggaran administrasi. Akibatnya, banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi belaka.
“Menanggapi trik tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus menggunakan formulasi bahwa pelanggaran administrasi pengusahaan kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi,”.

Selasa, 10 Februari 2009

Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport

Sumber : Prof. Dr. M. Amien Rais
Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport? : Tidak ! Saya gembira seminar dan launching buku tentang Freeport yang telah menjajah Indonesia dilakukan di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI di Senayan। Paling tidak secara simbolik seminar kita ini dapat mengingatkan para wakil rakyat , untuk kesekian kalinya, bahwa telah terjadi penjajahan dan kezaliman Freeport terhadap bangsa Indonesia।Buku Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa “Menjajah” Indonesia ini mengungkapkan betapa PT Freeport McMoran Indonesia telah melakukan kejahatan multidimensional. Kejahatan lingkungan , kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kejahatan hukum dan kejahatan politik dilakukan serentak oleh perusahaan pertambangan yang termasuk dalam kategori industri hitam ini. Dalam berbagai kesempatan WALHI dan JATAM telah berulangkali meniup peluit peringatan agar Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah kongkrit untuk menghentikan kejahatan serba aspek itu demi menegakkan kedaulatan ekonomi, hukum dan politik Indonesia. Namun hasilnya sebegitu jauh sungguh mengecewakan. Bahkan kesan yang kita peroleh adalah protes dan jeritan anak-anak bangsa di Papua dan di tempat lain seperti Jakarta dianggap oleh Pemerintah yang berkuasa saat ini sebagai gangguan dan ribut-ribut belaka tanpa makna. Kesan cukup kuat menunjukkan Pemerintah melindungi berbagai kejahatan Freeport itu sambil seolah mengatakan: “Jangan khawatir Freeport, terus saja silahkan menguras SDA kami di Papua, kami akan tetap melindungi Anda”. Di rumah rakyat Indonesia siang ini, kita mencoba meniup peluit (whistle-blowing) sekeras-kerasnya dengan harapan para anggota DPR RI dan Pemerintah Susilo mendengar peringatan dan “teriakan” kita bahwa telah terjadi penjajahan ekonomi dan politik oleh Freeport terhadap Indonesia. Penjajahan yang begitu telak dan kasat mata itu seharusnya segera dihentikan. Namun ada kemungkinan, sekeras-kerasnya peluit dibunyikan, jika yang kita hadapi adalah orang-orang pekak dan tuli, maka si peniup peluit bisa-bisa lelah sendiri. Kasus Freeport bukanlah satu-satunya. Ada berlusin-lusin kontrak karya pertambangan lainnya antara Indonesia dengan berbagai korporasi asing yang tidak masuk akal sehat. Mengapa? Karena hampir semua kontrak karya pertambangan itu merupakan pengulangan praktek penjajahan. Korporasi asing mendapat keuntungan yang terlalu besar, sementara pihak Indonesia hanya mendapat royalti ala kadarnya dan memikul beban dan destruksi lingkungan yang mustahil dapat dipulihkan. Mungkinkah kita mengembalikan sebuah gunung kecil yang sudah lenyap dihajar Freeport dan berubah jadi “danau” buruk dan melelehkan salju di puncak Gunung Jaya Wijaya yang merupakan salah satu keajaiban alam? Keajaiban alam itu kini tinggal kenangan. Keserakahan Freeport adalah tipikal korporasi internasional yang bergerak di bidang pertambangan. Exxon mobil adalah penjarah SDA negara-negara berkembang yang tidak kalah serakah. Kita mengetahui, Pemerintah Susilo telah memberikan operatorship minyak Blok Cepu sepenuhnya kepada Exxon. Juga Exxon diberi hak untuk mengeksploitasi minyak kita sampai tahun 2036. Di salah satu gedung di kompleks MPR/DPR RI ini Persatuan Ahli Geologi Indonesia pernah memprotes keras keputusan Pemerintah itu karena mereka merasa terhina, dianggap tidak mampu mengeksploitasi SDA milik kita sendiri. Sayang, protes itu dianggap angin lalu. Tidak kalah gila adalah bagaimana Indonesia mendapat 0% takkala Exxon menguras gas alam kita di Natuna. Pertambangan gas alam yang dikerjakan Exxon di wilayah Natuna itu sangat ganjil. Produksi gas alam itu dibawa ke wilayah Singapura lewat pipa bawah laut, dijualkan oleh agen-agen Exxon di negara Singa itu, tanpa sedikitpun kita pernah tahu, berapa volume gas alam kita yang dijarah dan berapa nilai kerugian kita untuk masa puluhan tahun. Menurut Paul Krugman, Exxon adalah musuh planet bumi. Dimana-mana Exxon menghancurkan lingkungan hidup demi maksimalisasi profit yang dikejar. Exxon menjadi musuh planet bumi karena telah menyogok para ilmuwan yang meragukan adanya global warming. Implikasinya adalah bahwa Exxon dengan jaringan pertambangannya yang terbesar di muka bumi tidak punya andil dalam global warming. Krugman menunjukkan bahwa bukan hanya Exxon sebagai korporasi yang serakah, tetapi juga para direksinya. Lee Raymond, mantan CEO Exxon, selama bekerja 13 tahun mendapat gaji $ 686 juta atau sekitar 6 trilyun dan 174 milyar rupiah. Lumayan bukan? Kembali ke Freeport. Freeport melanjutkan penjajahan dan penghinaannya pada Indonesia ketika Freeport meng-akuisisi Phelps Dodge Corp., perusahaan pertambangan emas saingannya senilai $ 25,9 milyar. Bayangkan, hampir 26 milyar dolar. Dari jumlah pembayaran yang senilai sekitar 234 trilyun rupiah itu, yang 70% dibayar tunai dan sisanya diselesaikan lewat pinjaman Bank. Saya diberitahu seorang lobbyist Partai Demokrat Amerika, sesungguhnya tindakan Freeport itu keliru karena cadangan SDA kita di perut bumi Papua dijadiakan kolateral atau jaminan kredit bank. Harusnya, kata dia, Indonesia merasa terhina karena tidak dilibatkan sama sekali dalam akuisisi Phelps Dodge tersebut. Saya katakan bagaimana Indonesia merasa terhina , wong faham saja tidak. Tetapi saya yakin Presiden Susilo (mantan menteri pertambangan RI) dan Menteri Purnomo tentu faham dan sangat faham dengan apa yang terjadi. Sikap Indonesia terhadap korporasi asing agaknya memang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain. Saya yakin negara-negara petro-dollar di Timur Tengah menjadi kaya karena pemerintah di Kawasan itu tidak bodoh-bodoh amat. Bahwa korporasi minyak dan pertambangan dari Amerika, Inggris, Belanda, Prancis dll diundang untuk melakukan kegiatan pertambangan itu sudah pasti. Akan tetapi dalam production-sharing dan profit-sharing, negara-negara Timur Tengah itu cukup cerdas dan berani meminta bagian yang lebih masuk akal, dibanding Indonesia. Indonesia nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing yang dalam 24 jam sehari – semalam ideologi mereka adalah maksimalisasi keuntungan dengan segala cara. Pemerintah Susilo tidak boleh lupa bila keserakahan dan keganasan berbagai korporasi asing seperti Freeport tersebut dibiarkan, apalagi dilindungi, hakekatnya Pemerintah Susilo sudah melakukan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, Pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan atau bahkan difasilitasi oleh negara. Kebijakan ekonomi dan kebijakan pertambangan Pemerintah Susilo nampaknya belum berubah dari kebijakan-kebijakan sebelum reformasi. Malah dalam kasus Blok Cepu, kebijakan yang diambil hanyalah meneruskan kebiasaan buruk masa lalu, yakni mensubordinasikan kepentingan bangsa sendiri dibawah kepentingan korporasi asing. Tentu pernyataan saya ini akan dibantah, tetapi fakta selalu berbicara tentang dirinya sendiri. Bayangkan, kontrak karya II antara Indonesia dengan Freeport baru berakhir pada 2041. Di tahun itu angkatan saya, Jusuf Kalla, Susilo B. Yudhoyono, dan seanteronya sudah berpindah ke alam baka. Bisakah kita tenang di alam baka jika generasi cucu kita merasa kecewa berat karena kita biarkan terus kekuatan korporatokrasi menguras ludes SDA kita di daratan, lautan dan perut bumi Indonesia? Sehingga kita mewariskan kemelaratan, kekecewaan dan kehancuran ekologi pada cucu dan cicit kita? Saya tetap yakin bangsa Indonesia bisa jadi bangsa besar di masa datang. Tetapi proyeksi Indonesia menjadi salah satu dari 5 raksasa ekonomi dunia di th 2030 dengan dasar keadaan kita sekarang yang makin terpuruk, kiranya masih jauh panggang dari api. Disamping itu tentu dapat meninabobokkan bangsa yang sedang resah dan gelisah menghadapi kehidupan yang tetap saja sulit. Kemerosotan dalam banyak hal adalah prestasi Pemerintahan Susilo. Kiranya peringatan seorang ekonom terkenal, Ravi Brata, bagus untuk dicamkan oleh Pemerintah Susilo dan para Anggota DPR kita yang mudah lupa diri. Professor Brata mengatakan: “Setiap jenis korupsi adalah buruk, tetapi korupsi kebijakan ekonomi mungkin adalah yang paling bejat. Kejahatan seperti itu terjadi bilamana para anggota DPR bukan saja memperkaya diri sendiri, tetapi juga menolak perbaikan hidup bagi masyarakat yang tertindas, yakni bagi mereka yang memiliki kekuatan tawar yang kecil dan merupakan bagian terlemah dalam masyarakat” (Any kind of corruption is bad; but the corruption of economic policy is perhaps the worst. Such malfeasance occurs when lawmakers not only enrich themselves but also deny just rewards to the downtrodden, that is, to those who have little bargaining power and are the weakest sections of society) Kalau saya boleh menambahkan, DPR RI kita sekarang ini telah, sedang dan akan meloloskan bersama pembuatan berbagai Undang-Undang di bidang kehutanan, pelayaran, penanaman modal asing, pengolahan air, energi dan listrik, yang sebenarnya, sekali lagi, semuanya lebih menguntungkan pihak asing daripada rakyat sendiri. Luar biasa. Kemarin kita dikagetkan dengan kemungkinan lolosnya RUU Penanaman Modal yang kental kepentingan asing. Memang sulit membuktikan bahwa ada tekanan – rayuan – sogokan dari korporasi asing pada sementara anggota DPR kita. Namun dengan adanya penolakan terhadap usulan penanganan dugaan kejahatan korporasi dari DPR RI itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Eksekutif dan Legislatif kita hakikatnya telah menjadikan Indonesia for Sale. Bayangkan, para pemodal asing dibolehkan memiliki hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Indonesia seperti negara yang kesurupan atau kesetanan. Tanah, sebagai aset termahal, dapat diserahkan ke kapitalis asing sampai mendekati satu abad. Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dipindah tangankan ke pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad. Indonesia for Sale!!. Kita perlu belajar dari negara-negara lain seperti Venezuela dan Bolivia. Kedua negara ini berhasil keluar dari cengkeraman korporatokrasi internasional. Mereka berhasil melakukan negosiaisi ulang atas seluruh perjanjian pertambangan dengan pihak asing yang semula merugikan bangsa sendiri. Rakyat Venezuela mulai menikmati hasil SDA nya secara lebih besar sejak sekitar 4 tahun lalu, sedangkan rakyat Bolivia merasakan hal yang sama sejak akhir tahun 2006. Ternyata keduanya berhasil melakukan negosiasi seluruh kontrak pertambangan dengan korporasi asing. Tidak betul bahwa renegosiasi kontrak pertambangan adalah tabu. Malaysia dan Iran, bahkan negara-negara penghasil minyak, gas dan mineral di Timur Tengah pada umumnya tidak menjadi bangsa pecundang. Setahu saya, sulit dicari sebuah bangsa yang lupa diri dan lupa harga, martabat dan kehormatan diri seperti halnya bangsa Indonesia. Yang kita alami sesungguhnya adalah sebuah malapetaka kebodohan, rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) dan sekaligus rasa tidak percaya diri. Namun masih ada secercah harapan, asalkan beberapa hal di bawah ini dapat dipenuhi. Pertama, pimpinan nasional atau pemerintah hendaknya berjiwa pemberani, memiliki moral courage untuk membela kepentingan bangsa sendiri berhadapan dengan kepentingan korporasi internasional. Indonesia harus berdiri sejajar dan sama tinggi dengan negara manapun juga. Indonesia adalah negara merdeka berdaulat penuh. Kini makin terbukti, negara-negara yang menjauhi A.S. dan berusaha menegakkan kemandirian justru semakin berhasil dan mengalami kemajuan cepat. Anehnya, Indonesia dibawah Presiden Susilo semakin merapatkan diri dengan Paman Sam. Kedua, diperlukan kekompakan antara Eksekutif dan Legislatif untuk memukul balik setiap usaha hegemoni korporasi asing dalam menguasai Indonesia. Yang terlihat sekarang kedua lembaga demokrasi kita justru semakin mendekat dan mengunggulkan kepentingan korporasi asing daripada kepentingan bangsa sendiri. Ketiga, komponen-komponen bangsa seperti TNI, Polri, kaum intelektual, media massa, tokoh-tokoh muda dan tokoh-tokoh informal seharusnya memadukan kekuatan untuk mempertahankan kedaulatan kita dalam arti luas dari penerobosan kepentingan korporasi asing. Sayang sampai sekarang belum terlihat penggalangan visi dan penyamaan posisi dalam menghadapi invasi politik, ekonomi dan budaya sebagai akibat proses globalisasi yang tidak terelakkan. Yang terlihat adalah baik DPR maupun Pemerintah berlomba membuka pintu rekolonisasi ekonomi Indonesia. Dengan stock kepemimpinan nasional yang sedang berkuasa sekarang ini dan dengan gaya dan semangat kerja seperti sekarang, jawaban atas pertanyaan Beranikah Indonesia Menghentikan “Penjajahan” Freeport? barangkali sudah jelas. Jawaban itu adalah tidak berani. Sama sekali tidak berani. Namun, saya harap saya keliru. Wallahu a’lam. Catatan: Harian The New York Times edisi 27 Desember 2005 pernah memuat laporan panjang, 3 halaman penuh tentang kegiatan Freeport dengan Judul “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”. Disitu digambarkan betapa sementara perwira tinggi TNI dan Polri telah masuk dalam daftar penerima honorarium khusus. Juga untuk beaya pengadaan infrastruktur militer telah dikeluarkan dana sebanyak 35 juta dollar. Termasuk 70 Land Rover dan Land Cruiser yang diperbaharui setiap tahun. Seorang tokoh CIA dan dua mantan perwira militer AS juga digunakan. Melihat jaringan intelligence, polisi dan militer antara AS dan Indonesia di Freeport, agaknya tidak mudah untuk mengatakan NO pada Freeport.


Jumat, 16 Januari 2009

KONTROVERSI DIVESTASI BCA (sebuah catatan kelam atas pengambilan kebijakan yang jelas-jelas salah)

Divestasi BCA yang dilakukan Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri yang diarsiteki Meneg BUMN Laksamana Sukardi memang meninggalkan berbagai kontroversi. Namun, dari sekian kontroversi yang dibuat, divestasi BCA merupakan the biggest controversy. Mengapa demikian? Ini mengingat, jika dibandingkan dengan berbagai kontroversi yang telah dilakukan pemerintah, maka divestasi BCA sama sekali tidak memiliki argumentasi yang kuat, baik dari sisi manapun.
Dalam rencana divestasi 51% saham BCA, pemerintah hanya menargetkan dana sekitar Rp 5 triliun. Meski hanya merupakan angka target, jelas sinyal ini akan dibaca oleh para bidder sebagai real value dari BCA. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa para bidder akan mengajukan penawaran tidak akan jauh dari angka Rp 5 triliun.
Angka ini, jelas angka yang sangat rendah. Dana rekapitalisasi BCA mencapai Rp 60 triliun. Mengacu UU Propenas, recovery aset seharusnya 70%. Itu berarti, paling tidak pemerintah harus mendapatkan dana sekitar Rp 42 triliun. Dari transaksi ini saja, pemerintah telah mengalami kerugian sekitar Rp 37 triliun.
Padahal, di samping kerugian tersebut, pemerintah masih harus mengeluarkan cost lain sehubungan dengan BCA ini. Misalnya, pemerintah telah mengeluarkan dana BLBI sebesar Rp 52,59 triliun dan baru dibayar Rp 15,62 triliun sekitar 3,5 tahun. Padahal, dalam skema PKPS, Salim diwajibkan melunasi BLBI tersebut dalam waktu 4 tahun. Jelas, ini merupakan kerugian bagi negara.
Kemudian, setelah mendapatkan dana Rp 5 triliun, ternyata juga pemerintah masih harus mengeluarkan biaya bunga obligasi rekap. Perlu diketahui, portofolio obligasi pemerintah sebesar Rp 60 triliun di BCA belum dikurangi. Dengan demikian, pemerintah masih harus mengeluarkan biaya bunga obligasi rekap yang dibayar oleh APBN. Katakanlah bunga obligasi itu 1% per bulan (12% setahun). Angka ini adalah angka konservatif, karena suku bunga SBI kini 17,50%. Itu artinya, setiap tahun pemerintah harus menyetor kepada pemilik baru BCA sebesar Rp 7,5 triliun. Dihitung dari 12% dikalikan Rp 60 triliun.
Angka ini masih bisa berubah, jika suku bunga SBI mengalami fluktuasi. Ini mengingat, tidak kurang Rp 57 triliun obligasi rekap BCA (dari total Rp 60 triliun) merupakan obligasi variable rate yang suku bunganya sangat tergantung dari fluktuasi suku bunga SBI.
Apa makna ini? Itu artinya, sama saja kita memberikan BCA secara cuma-cuma kepada pemilik baru (asing atau lokal). Karena, kita hanya dapat Rp 5 triliun, tapi setiap tahun kita masih bayar Rp 7,2 triliun. Bahkan, tidak hanya gratis, kita juga mensubsidi BCA yang bukan lagi merupakan bank pemerintah tersebut.
Pada dasarnya, jika BPPN tidak berorientasi mengejar target APBN, BPPN sesungguhnya bisa lebih kreatif untuk mengurangi kerugian ini. Misalnya, BPPN bisa menukar lebih dulu obligasi yang dimiliki BCA dengan kredit yang telah direstrukturisasi. Namun sayang, prestasi BPPN dalam merestrukturisasi kredit, juga masih minim. Penulis, tidak habis berfikir, mengapa pemerintah mendahulukan divestasi yang efeknya sesaat, ketimbang mengambil langkah strategis dengan menukar obligasi dengan kredit yang telah direstrukturisasi?
Oleh sebab itu, paket yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum proses divestasi adalah pertukaran obligasi pemerintah dengan kredit yang sudah disehatkan (loan-bond swap). Dengan mekanisme semacam ini, besaran obligasi pemerintah tidak akan besar lagi, sehingga tidak membebani keuangan pemerintah. Persoalan inilah sebenarnya yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan perlu mendapatkan prioritas lebih serius sebelum divestasi BCA.
Kejanggalan lain dari proses divestasi BCA ini adalah proses penentuan final bidder BCA. Sebagaimana diketahui, batas akhir penyerahan angka penawaran oleh bidder kepada BPPN adalah 28 Januari 2002. Namun, hingga tanggal tersebut keempat final bidder yang telah ditetapkan BPPN - yaitu konsorsium Farralon Capital, Standard Chartered, Bank Mega, dan GKBI- ternyata belum menyerahkan berkas data secara lengkap kepada BI selaku pelaksana fit and proper test. Kondisi ini jelas akan menyulitkan bagi BI untuk melakukan fit and proper test.
BI misalnya, harus menyelidiki siapa-siapa di belakang para konsorsium bidder tersebut. Kemudian, BI juga harus menyelidiki bagaimana track record dari para bidder. BI juga harus menyelidiki asal dana yang akan digunakan untuk membeli BCA. Semua itu, harus dapat dipastikan oleh BI. Ini mengingat, telah ada rule of game yang mensyaratkan agar misalnya, pemilik lama (Salim) tidak ikut masuk kembali ke BCA.
Demikian juga, dana yang dipergunakan untuk membeli BCA tidak diperkenankan berasal dari pinjaman. Para bidder juga disyaratkan memiliki track record yang baik, dalam arti tidak termasuk dalam daftar orang tercela (DOT). Nah, kalau semua data-data tidak bisa dilengkapi, bagaimana mungkin BI bisa secara detail mengetahui ada tidaknya hal-hal tersebut?
Tampaknya, terdapat keterburu-buruan dari proses penentuan final bidder oleh BPPN. Sepertinya, bagi BPPN, yang dipentingkan adalah uang masuk. Siapa yang membeli dan darimana sumber dananya tidak menjadi masalah. Padahal, dari pihak BI mengaku bahwa paling tidak, waktu yang diperlukan untuk melakukan fit and proper test adalah 30 hari.
Jika kita mau jujur, maka Bank BCA sampai sekarang masih saja terus menyusu pada induknya (pemerintah). BCA yang konon dikatakan sudah sehat ini, ternyata masih mengandalkan pendapatannya dari kegiatan di luar kehidupan perbankan yang normal. Industri bank yang normal, selayaknya mengandalkan pendapatan dari bunga kredit.
BCA memang telah meraih untung. Laba bersih pertahun sudah triliunan rupiah. Namun, sesungguhnya, jika tidak tertolong revenue dari bunga obligasi rekap dan bunga SBI, secara operasional BCA masih merugi. Bank BCA akhirnya merupakan bank yang kenyang revenue dari pemerintah dan BI. Artinya bahwa, laba BCA hanya berasal dari subsidi dari pemerintah dan BI.
Nah, apabila BCA yang masih menikmati berbagai previlege semacam itu dilepas tanpa melepas embel-embel hak istimewanya, maka jelas negara yang akan dirugikan. Oleh sebab itu, hal yang semestinya dilakukan sebelum proses divestasi BCA adalah menukar obligasi rekap terlebih dahulu dengan kredit yang sudah direstrukturisasi BPPN.
Nasi sudah menjadi bubur, negara telah dirugikan ratusan triliun dan ujung ujungnya rakyat juga yang jadi korban dari ambisi penguasa yang tidak punya visi dan misi kedepan. Hanya satu yang harus dilakukan, Pemerintahan SBY – JK dalam sisa waktu yang ada harus menuntaskan kasus BLBI dan OBLIGASI REKAP yang jelas merugikan negara dan rakyat, seret seluruh pejabat dan obligor yang terlibat ke Pengadilan, kalau perlu mereka harus DIHUKUM MATI akar kedepan pengelolaan negara tidak main-main dan aparatur negara akan lebih bersungguh sungguh dalam mengemban amanat rakyat. Tegakkan hukum jangan pandang bulu. I love My Country.

BISAKAH OBLIGASI REKAP DIHAPUS ??

Obligasi rekap telah dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia pada akhir tahun 1990-an, untuk mengatasi kekurangan modal bank-bank milik pemerintah sebesar Rp 750 triliiun. Hal itu ternyata telah membawa kenestapaan bagi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) kita hingga saat ini. Mengapa? Ketika obligasi rekap diterbitkan, wujudnya adalah kertas utang yang bertuliskan I owe you (IOY). Artinya, saya (pemerintah) meminjam kepada Anda. Pinjaman itu semula Rp 750 triliun, tetapi tidak ada uang tunai yang masuk ke kas negara. Yang ada cuma kertasnya saja (obligasi rekap) yang diserahkan kepada bank-bank milik pemerintah itu. Untuk itu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan aturan bahwa obligasi rekap itu dianggap sama dengan penyetoran uang tunai.
Jadi, secara pembukuannya modal bank yang bersangkutan bertambah (walaupun cuma di atas kertas saja), sementara di lain pihak bank yang bersangkutan memiliki tagihan kepada pemerintah senilai obligasi rekap tersebut. Untuk itu bank yang bersangkutan akan menerima penghasilan tetap berupa bunga obligasi setiap tahunnya.Untuk lebih jelasnya, misalnya Bank A adalah bank milik pemerintah yang sedang kekurangan modal sebesar Rp 100 miliar. Lalu pemerintah memberi suntikan obligasi rekap pada bank tersebut. Pada kenyataannya itu hanyalah surat atau kertas obligasi rekap senilai Rp 100 miliar, dengan bunga katakanlah 10 persen per tahun. Maka di buku Bank A itu, dicatat modal bertambah dengan Rp 100 miliar, dan di lain pihak tagihan kepada pemerintah dicatat dalam jumlah yang sama. Pemerintah tidak mengeluarkan uang tunai sepeser pun, tetapi berkewajiban membayar bunga obligasi sebesar Rp 10 miliar per tahun.
Jadi pada saat kebijakan ini dikeluarkan belum ada beban keuangan APBN. Akan tetapi sejak saat itu sampai obligasi rekap dilunasi (30 tahun lagi) pemerintah setiap tahunnya membebani APBN sebesar Rp 10 miliar untuk keuntungan Bank A. Dengan perkataan lain, direksi bank itu mendapat penempatan investasi yang sangat baik, karena tidak ada risiko, dan pendapatannya pun mengalir setiap saat? Masalahnya, apakah pemerintah cukup adil membebankan APBN sebesar bunga obligasi rekap setiap tahun (hampir Rp 100 triliun), yang berarti merupakan ongkos ketidaknyamanan yang harus diderita rakyat banyak. Sebab, andaikata uang itu dibelanjakan untuk membangun Sekolah Dasar (SD), atau untuk membangun sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), tentu sudah banyak yang bisa dibangun. Lebih jauh, utang pokok obligasi rekap tetap saja harus dibayar. Kapan? Jawabnya, wallahualam.
Alangkah kasihan nasib generasi mendatang. Mereka tidak menerima nikmatnya, tetapi harus membayar akibatnya? Apakah hal seperti ini adil?Dapat Dilunasi Sekarang kita harus mencari jalan agar obligasi rekap itu pokoknya bisa dilunasi. Dengan demikian bunga setiap tahunnya otomatis berhenti. Hal ini dimungkinkan karena dulu, ketika kebijakan obligasi rekap diambil untuk menolong permodalan bank-bank milik pemerintah, itu lebih banyak bersifat penyesuaian secara pembukuan saja (accounting solution), ketimbang keberadaan dana segar yang masuk ke kas perbankan. Di pembukuan bank yang menerima injeksi obligasi rekap, dicatat modal bertambah sebesar nilai obligasi rekap dan di pihak lain aset bank tersebut bertambah dan dicatat sebesar nilai obligasi rekap tadi. Sebab pada saat injeksi modal ke bank yang bersangkutan adalah hanya perlakuan catatan akunting saja, maka hal ini dari sudut pembukuan pemerintah dapat juga diselesaikan secara catatan accounting juga.
Untuk itu perlu dibuat Neraca Kekayaan Negara (NKN) yang menggambarkan aktiva dan pasiva negara. Pada sesi aktiva dicatat, aktiva keuangan dan aktiva fisik (nonkeuangan). Hal ini berarti kekayaan negara yang diperoleh karena penambahan penyetor modal pemerintah pada bank yang bersangkutan dengan mengeluarkan obligasi rekap dicatat sebagai aktiva keuangan berupa saham pemerintah pada bank yang bersangkutan. Di lain pihak untuk jumlah yang sama pada sisi pasiva, dicatat sebagai utang pemerintah semula nilai obligasi rekap, kepada para pemegang obligasi.
Untuk menyelesaikan masalah obligasi rekap ini, pemerintah memutuskan utang negara senilai obligasi rekap itu dijadikan dan dicatat sebagai Kekayaan Bersih dari negara. Pada saat yang sama, kepada para pemegang obligasi rekap diberikan semacam surat berharga atau kupon dengan nilai misalnya 1,2 x nilai nominal dari obligasi rekap, yakni berupa fasilitas bebas pajak. Kepada pemegang obligasi rekap diberi semacam berupa bebas pajak selama beberapa tahun dengan nilai 1,2 x nilai obligasi rekap. Dengan cara seperti ini pemerintah tidak harus melunasi obligasi rekap lagi, karena sudah terlunasi dengan kupon-kupon bebas pajak, dan itu berarti juga tidak lagi membayar bunga obligasi rekap lagi untuk seterusnya!

Rabu, 14 Januari 2009

OBLIGASI REKAP, BEBAN ANAK CUCU KITA

Untuk mengetahui asal usul obligasi rekap, sebaiknya kita mulai dari pertengahan tahun 1997 dimana Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi, yang dipicu oleh melemahnya nilai tukar Baht Thailand. Dalam waktu singkat, ternyata rupiah juga terjangkit penyakit dari Thailand tersebut, dimana para investor asing melihat kesamaan fundamental ekonomi antara Indonesia dan Thailand yang sudah terlalu banyak memiliki hutang luar negeri.
Akibat pelarian modal ini, maka nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar amerika akibat ketidak seimbangan antara supply dan demand. Yang parah, ternyata krisis mata uang ini berkelanjutan di Indonesia sehingga terciptalah krisis ekonomi di segala bidang. Untuk itu maka pemerintah meminta bantuan IMF. Sebenarnya di sinilah kesalahan pemerintah Indonesia dalam melakukan diagnosa atas krisis yang dihadapi, sehingga jalan keluar yang dipilih juga salah. Saat itu, pemerintah menganggap pelarian modal tersebut semata mata akibat ketidak percayaan investor yang disebabkan oleh krisis Thailand, sehingga yang perlu dilakukan adalah memulihkan kepercayaan tersebut.
Untuk itu pemerintah mengundang masuk IMF dengan harapan lembaga internasional tersebut dapat memulihkan kepercayaan investor. Namun pemerintah tidak melihat bahwa akar permasalahan ketidak percayaan ini bukan hanya semata emosional investor akibat krisis di Thailand. Melainkan, ketidak percayaan investor ini memang disebabkan oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia sendiri yang tidak kokoh, dimana beban utang sudah sangat besar. Istilah yang digunakan oleh Kwik Kian Gie adalah Indonesia sudah mengalami kondisi over investment. Jadi, back up yang dilakukan dengan memanggil IMF dengan segala pinjaman siaga sebesar U$ 48 miliar sebenarnya tidak cukup.
Dalam diagnosa selanjutnya, beberapa saran diberikan oleh IMF agar dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti yang tercantum dalam Letter of Intent, dimana salah satunya adalah penutupan 16 bank. Nah di sinilah awal dari problema yang memunculkan obligasi rekap. Akibat salah perhitungan serta kurang siapnya pemerintah dalam melikuidasi 16 bank tersebut, dimana pada mulanya pemerintah tidak menjamin dana nasabah, telah memicu rush oleh nasabah pada sebagian besar bank lainnya. Akibat perbankan tidak memiliki dana cash, maka ambruklah system perbankan di Indonesia.
Guna mengatasi masalah likuiditas perbankan ini, maka Bank Indonesia memberikan dana pinjaman dalam bentuk KLBI dan BLBI, sehingga bank yang diserbu nasabahnya tetap dapat memenuhi kewajibannya. Namun demikian, tentu saja dana pinjaman tersebut harus dipertanggung jawabkan oleh perbankan itu sendiri. Akan tetapi, karena memang system perbankan sudah sangat kacau, dana BLBI tersebut tidak bisa dikembalikan. Akibatnya, pemerintah menanggung dana BLBI tersebut dengan mengeluarkan obligasi. Inilah penyebab pertama dari timbulnya permasalahan obligasi rekap.
Selain mengalami masalah likuidasi, system perbankan juga mengalami masalah kredit macet, akibat naiknya suku bunga hingga ke level 50%, yang mengakibatkan banyak debitor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Adapun kenaikkan suku bunga yang sangat tinggi ini sebenarnya juga merupakan saran dari IMF, guna memperkuat nilai tukar rupiah. Memang, dalam text book ekonomi, nilai tukar rupiah suatu negara berkorelasi positif dengan suku bunga. Jika suku bunga dinaikkan, nilai tukar negara tersebut cenderunge menguat. Dan sebaliknya. Namun demikian, kebijakan ini memakan korban dimana bermunculanlah kredit macet. Akibat dari timbulnya kredit macet ini, maka banyak modal perbankan yang mengalami penurunan, bahkan negatif.
Untuk mengatasi kredit macet tersebut, maka pemerintah kembali mengeluarkan obligasi rekap. Prosedurnya, kredit macet yang berada pada sisi aktiva perbankan dikeluarkan dan diserahkan kepada BPPN, untuk disehatkan kembali. Dan untuk mengisi bolong pada sisi aktiva tersebut, maka pemerintah memasukkan obligasi rekap. Inilah penyebab kedua dari timbulnya permasalahan obligasi rekap.Untuk mempermudah pemahaman mengenai timbulnya obligasi rekap, berikut ilustrasi yang dilihat dari neraca perbankan yang sangat disederhanakan, seperti berikut ini:
Neraca sebelum proses rekapitulasi dengan obligasi :
Aktiva terdiri dari :
- Kas 200.000.000
- Kredit Macet 650.000.000
- Aset lainnya 150.000.000
Total aktiva 1.000.000.000
Pasiva terdiri dari :
- Dana masyarakat 550.000.000
- Utang BLBI 700.000.000
- Modal (250.000.000)
Total pasiva 1.000.000.000
Menghadapi hal tersebut, pemerintah melakukan dua cara penyehatan dengan obligasi yaitu :
- Membuat modal bank jadi positif dengan cara mengkonversi Utang BLBI ke dalam Modal.
- Mengeluarkan Kredit Macet ke BPPN dan mengisi kekosongannya dengan Obligasi rekap.
Dengan demikian neraca perbankan menjadi sebagai berikut :
Neraca setelah proses rekapitulasi dengan obligasi :
Aktiva terdiri dari :
- Kas 200.000.000
- Obligasi Rekap 650.000.000
- Aset lainnya 150.000.000
Total aktiva 1.000.000.000
Pasiva terdiri dari :
- Dana masyarakat 550.000.000
- Modal 450.000.000
Total pasiva 1.000.000.000
Dengan rekapitulasi obligasi rekap ini, diharapkan perbankan di Indonesia menjadi sehat kembali, dimana 2 indikator utama kesehatan bank terpenuhi. Pertama, CAR perbankan diharapkan menjadi positif atau bahkan mencapai tingkat 8%, dengan kembali positifnya modal perbankan. Kedua, dengan hilangnya kredit macet, tentunya NPL perbankan akan baik kembali.
Namun, sebenarnya metode penyehatan perbankan ini hanya make up saja dan tidak secara tuntas akan menyelesaikan masalah perbankan. Untuk itu, penerbitan obligasi rekap ini seharusnya tidak dimaksudkan untuk selamanya ada pada system perbankan. Suatu saat harus ditarik kembali.
Sayangnya, pemerintah berpikiran kebalikannya. Penerbitan obligasi perbankan yang tadinya dimaksudkan hanya sementara, dianggap dapat dilakukan selamanya. Bahkan pejabat IMF Hubert Neiss dan Stanley Fisher mengatakan penerbitan obligasi tersebut hanya sekedar keep the bank afloat. Apa yang tadinya diharapkan untuk sementara ternyata dijadikan selamanya. Oleh sebab itu, perlu suatu terobosan untuk segera mengatasi masalah obligasi rekap ini dari system perbankan. Jika tidak, ingatlah beban sebesar Rp 7.000 triliun rupiah yang harus ditanggung anak cucu kita di masa yang akan datang.

SEJARAH BANGSA ISRAEL

Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan nama Israel. Terutama setelah penyerangan besar-besaran ke Gaza. Sebenarnya siapa bangsa Israel itu?
Nama Yahudi barangkali diambil dari Yehuda. Yehuda adalah salah seorang putra nabi Yakub (Kejadian 29: 22) yang kemudian hari dijadikan nama salah satu kerajaan Israel yang pecah menjadi dua, setelah Solomon (Sulaiman) meninggal (1 Raja-Raja 12). Sedangkan nama Israel adalah nama yang diberikan Tuhan kepada Yakub, setelah Yakub memenangkan pergulatan melawan Tuhan (Kejadian 32:28). Karena dosa-dosanya yang sudah tidak termaafkan lagi, bangsa Israel ini dihukum oleh Tuhan dengan menghancurkan kerajaan yang mereka miliki (2 Raja-Raja 17:7-23).
Bangsa Yahudi sangat terobsesi oleh kitab suci mereka, bahwa hanya merekalah satu-satunya bangsa yang dipilih oleh Tuhan untuk menguasai dunia ini. Bukankah Tuhan juga yang menyatakan kepada nenek moyang mereka Ibrahim, bahwa dari keturunan Ibrahimlah Tuhan akan menurunkan raja-raja didunia ini. Bagi mereka, keturunan Ibrahim hanyalah anak cucu yang lahir dari Sarah, isteri pertama Ibrahim, sehingga keberadaan Ismael anak sulung Ibrahim dari Hajar, dianggap tidak ada. Atas kecongkakkan dan kesombongan ini, Tuhan murka kepada bani Israel. Beratus-ratus tahun mereka menjadi warga negara kelas kambing yang tertindas di negeri Firaun. Setelah Musa berhasil membawa mereka keluar dari Mesir, bangsa Israel sempat mempunyai kerajaan yang dibangun oleh Daud dan mencapai masa keemasannya ditangan Solomon. Kerajaan yang kemudian pecah menjadi dua karena intrik anak-anak Solomon, lalu menjadi lemah dan akhirnya mereka dijajah oleh Firaun Nekho (2 Raja-Raja 23:31-35). Diusir sebagai orang buangan oleh Nebukadnezar bangsa Babilonia (2 Raja-Raja 25:1-21). Dijajah oleh Romawi. Dimusnahkan oleh Nazi, Jerman. Kesemuanya itu adalah hukuman Tuhan, kepada bangsa yang oleh Yesus (Isa al Masih) disebut sebagai keturunan bangsa ular beludak (Matius 23:33). Hukuman tersebut tidak membuat mereka jera, dan bertobat. Malah menjadikan dendam kesumat dihati bangsa ini untuk melawan Tuhan, Allah Maha Pencipta.
Kecongkakkan mereka dengan menganggap diri sebagai bangsa pilihan Tuhan satu-satunya yang berhak memerintah dunia ini, membuat mereka dengan sombongnya bersumpah, untuk memerangi agama lain selain agama mereka dengan segala cara, persis ketika Iblis bersumpah kepada Tuhan untuk memperdayai anak cucu Adam, sampai dunia kiamat nanti. Tuhanpun memperingatkan ummat Islam, melalui Al-Quran untuk berhati-hati terhadap tipu daya Yahudi ini.
Pegangan mereka adalah kitab Talmud. Yang merupakan kitab setan, karena sangat jauh menyimpang, bahkan mungkin bertolak belakang dengan ajaran Taurat.
Nabi Daud AS, yang juga raja, menaklukkan bukit Zion yang merupakan benteng dari kaum Yabus. Nabi Daud AS tinggal di benteng itu dan diberinya nama: "bandar Daud" (Samuel II 5:7-9)
Sejak itu maka Zion menjadi tempat suci, dikeramatkan orang-orang Yahudi yang mereka percayai bahwa Tuhan tinggal di tempat itu: "Indahkanlah suaramu untuk Tuhan Yang menetap di Zion" (Mazmur 9:11).
Zionisme ialah gerakan orang-orang Yahudi yang bersifat ideologis untuk menetap di Palestina, yakni di bukit Zion dan sekitarnya. Walaupun Nabi Musa AS tidak sampai pernah menginjakkan kaki beliau di sana, namun orang-orang Yahudi menganggap Nabi Musa AS adalah pemimpin pertama kaum Zionis.
Untuk mencapai cita-citanya, Zionisme membangkitkan fanatisme kebangsaan (keyahudian), keagamaan dengan mempergunakan cara kekerasan untuk sampai kepada tujuannya. Zionisme memakai beberapa tipudaya untuk mengurangi dan menghilangkan sama sekali penggunaan kata "Palestina", yakni mengganti dengan perkataan-perkataan lain yang berkaitan dengan sejarah bangsa Yahudi di negeri itu. Digunakanlah nama "Israel" untuk negara yang telah didirikan oleh mereka, sebab Zionisme di Palestina identik dengan kekerasan, kezaliman dan kehancuran. Kaum Zionis mengambil nama Israel adalah untuk siasat guna mengelabui dan menipu publik, bahwa negara Israel itu tidak akan menggunakan cara-cara yang biasa digunakan oleh kaum Zionis. Pada hal dalam hakikatnya secra substansial tidaklah ada perbedaan sama sekali antara Israel dengan Zionisme. Israel sendiri berasal dari dua kata, isra mempunyai arti hamba, dan ell berarti Allah.
Secara substansial protokol Zionisme adalah suatu konspirasi jahat terhadap kemanusiaan. Protokol berarti pernyataan jika dinisbatkan kepada para konseptornya, dan berarti laporan yang diterima serta didukung sebagai suatu keputusan jika dikaitkan pada muktamar di Bale, Switzerland, tahun 1897, yang diprakarsai oleh Teodor Herzl.
.
Protokol-protokol itu yang sebagai dokumen rahasia disimpan di tempat rahasia, namun beberapa diantaranya dibocorkan oleh seorang nyonya berkebangsaan Perancis yang beragama Kristen dalam tahun 1901. Dalam perjumpaan nyonya itu dengan seorang pemimpin teras Zionis di rumah rahasia golongan Mesonik di Paris, nyonya itu sempat melihat sebagian dari protokol-protokol itu. Nyonya itu sangat trperanjat setelah membaca isinya. Ia berhasil mencuri sebagian dari dokumen rahasia itu, yang disampaikannya kepada Alex Nikola Nivieh, ketua dinas rahasia Kekaisaran Rusia Timur.
Sebagian kecil dari protokol-protokol Zionisme itu akan disampaikan seperti berikut:
Manusia terbagi atas dua bagian, yaitu Yahudi dan non-Yahudi yang disebut Joyeem, atau Umami. Jiwa-jiwa Yahudi dicipta dari jiwa Tuhan, hanya mereka sajalah anak-anak Tuhan yang suci-murni. Kaum Umami berasal-usul dari syaithan, dan tujuan penciptan Umami ini untuk berkhidmat kepada kaum Yahudi. Jadi kaum Yahudi merupakan pokok dari anasir kemanusiaan sedangkan kaum Umami adalah sebagai budak Yahudi. Kaum Yahudi boleh mencuri bahkan merampas harta benda kaum Umami, boleh menipu mereka, berbohong kepada mereka, boleh menganiaya, boleh membunuh serta memperkosa mereka. Sesungguhnya tabiat asli kaum Yahudi ini bukan hanya ada disebutkan dalam protokol dokumen rahasia Zionis tersebut, melainkan ini adalah warisan turun temurun sejak cucu Nabi Ibrahim AS dari jalur Nabi Ishaq AS ini mulai mengalami dekadensi (baca: busuk ke dalam), yaitu sepeninggal Nabi Sulaiman AS. Ini diungkap dalam Al Quran (transliterasi huruf demi huruf): QALWA LYS ‘ALYNA FY ALAMYN SBYL (S. AL ‘AMRAN, 75), dibaca: qa-lu- laysa ‘alayna- fil ummiyyi-na sabi-l (s. ali ‘imra-n), artinya: mereka berkata tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi (3:75).
Protokol Zionisme tentang faham jiwa-jiwa Yahudi dicipta dari jiwa Tuhan, hanya mereka sajalah anak-anak Tuhan yang suci-murni, sangatlah menyimpang dari syari’at yang dibawakan oleh Nabi Musa AS. Mereka yang menyimpang inilah yang dimaksud dengan almaghdhu-b, artinya yang dimurkai dalam Surah Al Fa-tihah ayat 7.
Protokol-protokol Zionisme itu merancang juklatnya dengan menye-barkan faham-faham yang bermacam-macam. Faham yang mereka tebarkan berbeda dari masa ke masa. Suatu waktu mempublikasikan sekularisme kapitalisme, suatu waktu menebar atheisme komunisme, suatu waktu berse-lubung agnostik sosialisme. Untuk menebarkan pengaruh internasional, protokol-protokol itu antara lain berisikan perencanaan keuangan bagi kerajaan Yahudi Internasional yang menyangkut mata uang, pinjaman-pinjaman, dan bursa. Media surat kabar adalah salah satu kekuatan besar dan melalui jalan ini akan dapat memimpin dunia. Manusia akan lebih mudah ditundukkan dengan bencana kemiskinan daripada ditundukkan oleh undang-undang.
Pada tahun 1902 dokumen rahasia Zionis itu diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa Rusia oleh Prof. Nilus dengan judul ‘PROTOKOLAT ZIONISME’. Dalam kata pengantarnya Prof. Nilus berseru kepada bangsanya agar berhati-hati akan satu bahaya yang belum terjadi. Dengan seruan itu terbongkarlah niat jahat Yahudi, dan hura-hura pun tak bisa dikendalikan lagi, dimana saat itu telah terbantai lebih kurang 10.000 orang Yahudi. Theodor Herzl, tokoh Zionis Internasional berteriak geram atas terbongkarnya Protokolat mereka yang amat rahasia itu, karena tercuri dari pusat penyim-panannya yang dirahasiakan, dan penyebar-luasannya sebelum saatnya akan membawa bencana. Peristiwa pembantaian atas orang-orang Yahudi itu mereka rahasiakan. Lalu mereka ber-gegas membeli dan memborong habis semua buku itu dari toko-toko buku. Untuk itu, mereka tidak segan-segan membuang beaya apa saja yang ada, seperti ; emas, perak, wanita, dan sarana apa saja, asal naskah-naskah itu bisa disita oleh mereka.
.
Mereka menggunakan semua pengaruhnya di Inggris, supaya Inggris mau menekan Rusia untuk menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi di sana. Semua itu bisa terlaksana setelah usaha yang amat berat.
Pada tahun 1905 kembali Prof. Nilus mencetak ulang buku itu dengan amat cepat dan mengherankan. Pada tahun 1917 kembali dicetak lagi, akan tetapi para pendukung Bolshvic menyita buku protokolat itu dan melarangnya sampai saat ini. Namun sebuah naskah lolos dari Rusia dan diselun-dupkan ke Inggris oleh seorang wartawan surat kabar Inggris ‘The Morning Post’ yang bernama Victor E.Mars dan dalam usahanya memuat berita revolusi Rusia. Ia segera mencarinya di perpustakaan Inggris, maka didapatinya estimasi tentang akan terjadinya revolusi komunis. Ini sebelum lima belas tahun terjadi, yakni di tahun 1901. Kemudian wartawan itu menterjemahkan Protokolat Zionis itu ke dalam bahasa Inggris dan dicetak pada tahun 1912.
Hingga kini tidak ada satu pun penerbit di Inggris yang berani mencetak Protokolat Zionis itu, karena kuatnya pengaruh mereka di sana. Demikian pula terjadi di Amerika. Kemudian buku itu muncul dicetak di Jerman pada tahun 1919 dan tersebar luas ke beberapa negara. Akhirnya buku itu diterjemah-kan ke dalam bahasa Arab, antara lain oleh Muhammad Khalifah At-Tunisi dan dimuat dalam majalah Mimbarusy-Syarq tahun 1950. Perlu diketahui, bahwa tidak ada orang yang berani mempublikasikan Protokolat itu, kecuali ia berani menghadapi tantangan dan kritik pedas pada koran-koran mereka, sebagaimana yang dialami oleh penerjemah ke dalam bahasa Arab yang dikecam dalam dua koran berbahasa Perancis yang terbit di Mesir.
Setelah melalui proses yang amat panjang akhirnya pada 14 Mei 1948 silam, kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel. Dengan kemerdekaan ini, cita-cita orang orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk mendirikan negara sendiri, tercapai. Mereka berhasil melaksanakan "amanat" yang disampaikan Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara Yahudi) sejak 1896. Tidaklah mengherankan jika di tengah-tengah negara-negara Timur Tengah yang mayoritas menganut agama Islam, ada sekelompok manusia yang berkebudayaan dan bergaya hidup Barat. Mereka adalah para imigran Yahudi yang didatangkan dari berbagai negara di dunia karena mengalami pembantaian oleh penguasa setempat.
Sejak awal Israel sudah tidak diterima kehadirannya di Palestina, bahkan di daerah mana pun mereka berada. Karena merasa memiliki keterikatan historis dengan Palestina, akhirnya mereka berbondong-bondong datang ke Palestina. Imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ini terjadi sejak akhir tahun 1700-an. Akibat pembantaian diderita, maka mereka merasa harus mencari tempat yang aman untuk ditempati. Oleh Inggris mereka ditawarkan untuk memilih kawasan Argentina, Uganda, atau Palestina untuk ditempati, tapi Herzl lebih memilih Palestina.
Herzl adalah The Founding Father of Zionism. Dia menggunakan zionisme sebagai kendaraan politiknya dalam merebut Palestina. Kemampuannya dalam melobi para penguasa dunia tidak diragukan lagi. Sederetan orang-orang terkenal di dunia seperti Paus Roma, Kaisar Wilhelm Jerman, Ratu Victoria Inggris, dan Sultan Turki di Istambul telah ditaklukkannya. Zionisme adalah otak dalam perebutan wilayah Palestina dan serangkaian pembantaian yang dilakukan Yahudi.
Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara besar-besaran, menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang pertama imigrasi Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu sebanyak 25.000 orang Yahudi berhasil dipindahkan ke Palestina. Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk Palestina oleh pendatang Yahudi. Bentrokan pun tidak dapat dapat dihindari. Kemudian gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914. Pada masa inilah, perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak.
Berdasarkan hasil perjanjian Sykes Picot tahun 1915 yang secara rahasia dan sepihak telah menempatkan Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Dengan berlakunya sistem mandat atas Palestina, Inggris membuka pintu lebar-lebar untuk para imigran Yahudi dan hal ini memancing protes keras bangsa Palestina.
Aksi Inggris selanjutnya adalah memberikan persetujuannya melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917 agar Yahudi mempunyai tempat tinggal di Palestina. John Norton More dalam bukunya The Arab-Israeli Conflict mengatakan bahwa Deklarasi Balfour telah menina-bobokan penguasa Arab terhadap pengkhiatan Inggris yang menyerahkan Palestina kepada Zionis.
Pada tahun 1947 mandat Inggris atas Palestina berakhir dan PBB mengambil alih kekuasaan. Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Palestina menjadi tiga bagian. Hal ini mendapat protes keras dari penduduk Palestina. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan PBB ini. Lain halnya yang dilakukan dengan bangsa Yahudi. Dengan suka cita mereka mengadakan perayaan atas kemenangan besar ini. Bantuan dari beberapa negara Arab dalam bentuk persenjataan perang mengalir ke Palestina. Saat itu pula menyusul pembubaran gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan pembunuhan terhadap Hasan al-Banna yang banyak berperan dalam membela Palestina dari cengkraman Israel.
Apa yang dilakukan Yahudi dalam merebut Palestina tidaklah terlepas dari dukungan Inggris dan Amerika. Berkat dua negara besar inilah akhirnya Yahudi dapat menduduki Palestina secara paksa walaupun proses yang harus dilalui begitu panjang dan sulit. Palestina menjadi negara yang tercabik-cabik selama 30 tahun pendudukan Inggris. Sejak 1918 hingga 1948, sekitar 600.000 orang Yahudi diperbolehkan menempati wilayah Palestina. Penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasi selalu dipadati penduduk Palestina akibat pemberontakan yang mereka lakukan dalam melawan kekejaman Israel.
Tahun 1956, Gurun Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel, setelah gerakan Islam di kawasan Arab dipukul dan Abdul Qadir Audah, Muhammad Firgholi, dan Yusuf Thol’at yang terlibat langsung dalam peperangan dengan Yahudi di Palestina dihukum mati oleh rezim Mesir. Dan pada tahun 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Israel. Peristiwa itu terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap Sayyid Qutb yang amat ditakuti kaum Yahudi. Tahun 1977, terjadi serangan terhadap Libanon dan perjanjian Camp David yang disponsori oleh mendiang Anwar Sadat dari Mesir
.
Akhirnya pada Desember 1987, perjuangan rakyat Palestina terhimpun dalam satu kekuatan setelah sekian lama melakukan perlawanan secara sporadis terhadap Israel. Gerakan Intifadhah telah menyatukan solidaritas rakyat Palestina. Intifadhah merupakan aksi pemberontakan massal yang didukung massa dalam jumlah terbesar sejak tahun 1930-an. Sifat perlawanan ini radikal revolusioner dalam bentuk aksi massal rakyat sipil.
Adanya kehendak kolektif untuk memberontak sudah tidak dapat ditahan lagi. Untuk tetap bertahan dalam skema transformasi masyarakat yang menghindari aksi kekerasan, maka atas prakarsa Syekh Ahmad Yassin dibentuklah HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-Islamiyah) pada bulan Januari 1988, sebagai wadah aspirasi rakyat Palestina yang bertujuan mengusir Israel dari Palestina, mendirikan negara Islam Palestina, dan memelihara kesucian Masjid Al-Aqsha. HAMAS merupakan "anak" dari Ikhwanul Muslimin karena para anggotanya berasal dari para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin. Perlawanan terhadap Israel semakin gencar dilakukan dan mengakibatkan kerugian material bagi Israel berupa kehancuran pertumbuhan ekonomi, penurunan produksi industri dan pertanian, serta penurunan investasi. Kerugian lainnya yaitu hilangnya ketenangan dan rasa aman bangsa Israel.
Tidak ada manipulasi sejarah yang lebih dahsyat dari pada yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina. Kongres Zionis I di Basle merupakan titik balik dari sejarah usaha perampasan tanah Palestina dari bangsa Arab. Namun hebatnya, para perampas ini tidak dianggap sebagai ”perampok” tetapi malahan dipuja sebagai ”pahlawan” dan bangsa Arab yang melawannya dianggap sebagai ”teroris” dan penjahat yang perlu dihancurkan.
Salah satu kunci untuk memahami semua ini ialah karena sejak Kongres I kaum Zionis sudah mengerti kunci perjuangan abad XX yakni: diplomasi, lobi, dan penguasaan media massa. Herzl sebagai seorang wartawan yang berpengalaman dengan tangkas memanfaatkan tiga senjata andal dalam perjuangan politik abad modern ini. Sejak Kongres I, dia sangat rajin melobi para pembesar di Eropa, mendekati wartawan, dan melancarkan diplomasi ke berbagai negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Zionisme lantas diterima sebagai gerakan politik yang sah bagi usaha merampas tanah Palestina untuk bangsa Yahudi.
Tokoh-tokoh Yahudi banyak terjun ke media massa, terutama koran dan industri film. Hollywood misalnya didirikan oleh Adolf Zuckjor bersaudara dan Samuel-Goldwyn-Meyer (MGM). Dengan dominasi yang luar biasa ini, mereka berhasil mengubah bangsa Palestina yang sebenarnya adalah korban kaum Zionis menjadi pihak ”penjahat”.
.
Apakah anda tau siapa yang menguasai kantor-kantor berita seperti Reuter, Assosiated Press, United Press International, surat kabar Times dan jaringan telivisi terkenal dunia serta perusahaan film di Holywood? Semuanya adalah bangsa Yahudi. Reuter didirikan oleh Yahudi Jerman, Julius Paul Reuter yang bernama asli Israel Beer Josaphat. Melalui jaringan informasi dan media komunikasi massa inilah mereka menciptakan image negatif terhadap Islam, seperti Islam Fundamentalis, Islam Teroris, dan lain sebagainya. Demikian gencarnya propaganda ini, sampai-sampai orang Islam sendiri ada yang phobi Islam.
Edward Said, dalam bukunya Blaming The Victims secara jitu mengungkapkan bagaimana media massa Amerika menciptakan gambaran negatif bangsa Palestina. Sekitar 25 persen wartawan di Washington dan New York adalah Yahudi, sebaliknya hampir tidak ada koran atau TV Amerika terkemuka yang mempunyai wartawan Arab atau Muslim. Kondisi ini berbeda dengan media Eropa yang meskipun dalam jumlah terbatas masih memiliki wartawan Arab atau muslim. Dengan demikian laporan tentang Palestina di media Eropa secara umum lebih ”fair” daripada media Amerika.
Edward Said yang terkenal dengan bukunya Orientalism (Verso 1978), menguraikan apa yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina merupakan praktik kaum Orientalis yang sangat nyata. Pertama, sejarah ditulis ulang, yakni Palestina sebelum berdirnya Israel ialah: wilayah tanpa bangsa untuk bangsa yang tidak mempunyai tanah air. Kedua, bangsa Palestina yang menjadi korban dikesankan sebagai bangsa biadab yang jadi penjahat. Ketiga, tanah Palestina hanya bisa makmur setelah kaum Zionis beremigrasi ke sana.