Jumat, 03 April 2009

ANAK CUCU KITA MEWARISI HUTANG Rp.2000 TRYLIUN


Sejak 1970 Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang (loan agreement) dengan pihak luar negeri. Jumlah hutang luar negeri saat ini kira kira Rp 2.000 trilyun. Yang bikin miris, dari utang segede itu, ternyata yang termanfaatkan dan digunakan hanya 44%. Sisanya, sebanyak 56%, tersia-sia alias mubazir.

Padahal, ketika loan agreement itu ditandatangani, meski dananya belum mengucur, Indonesia wajib membayar biaya komitmen (commitment fee) dan bunganya. Walhasil, saban tahun, pemerintah terbebani membayar dua jenis biaya itu sampai Rp 2,02 trilyun. Belum lagi, dari 44% yang digunakan itu, ternyata sebagian ada yang macet.

Akibatnya, bunganya terus menggelembung seiring dengan menguatnya kurs dolar dan anjloknya nilai tukar rupiah. Karena itu ada satu daerah yang utangnya mula-mula Rp 27 milyar, lantaran macet, membengkak jadi Rp 80 milyar. Ada juga utang luar negeri yang dipinjam dengan skema dana talangan. Dalam skema ini, pemerintah membiayai dulu proyeknya. Setelah proyek itu jadi, dana yang talangan pemerintah tadi ditagih kepada peminjam (lender).

Celakanya, lender acapkali ingkar, tidak mengucurkan dana, meski loan agreement telah ditandatangani dan commitment fee serta bunganya sudah dibayar. Pemerintah jadi rugi dua kali, sudah keluar duit, harus membayar bunga pula. Jelas negara sangat dirugikan dengan pengelolaan utang luar negeri yang amburadul ini.

Anak bangsa kian sengsara tercekik utang. Sebab hampir 30% dari total dana APBN dipakai untuk membayar utang, dua pertiganya digunakan untuk membayar bunga. "Indonesia sejak dulu tidak punya borrowing strategy (strategi peminjaman) dan tidak ada studi kelayakan untuk setiap proyek yang didanai dengan utang,".

Buktinya, ada pemerintah daerah yang mencari pinjaman, katanya, untuk membangun sanitasi, tapi realisasinya malah untuk membeli mobil dinas. Dalam persoalan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harusnya menjadi ujung tombak pengelolaan pinjaman itu, karena persetujuan dikucurkannya utang luar negeri dikeluarkan Bappenas.

Sayang, borrowing strategy dan studi kelayakan tidak dilakukan. "Kalaupun ada, hanya di atas kertas, tapi pelaksanaannya menyimpang. Indonesia baru memiliki borrowing strategy setelah diterbikannya Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Sebelum terbit PP Nomor 2 Tahun 2006, pengelolaan dana pinjaman agak terkendala. Banyak proyek yang ternyata belum siap dikerjakan, padahal loan agreement telah ditandatangani dan pemerintah sudah harus membayar biaya komitmen serta bunganya. Namun, setelah PP itu terbit, setiap proposal peminjaman harus menjalani studi kelayakan.

"Jeratan utang membuat negara rusak. Kita jadi tidak berwibawa di mata negara lain,". Utang luar negeri yang kebanyakan dalam mata uang asing sering dijadikan senjata oleh kreditur untuk makin memurukkan Indonesia. "Kasus krisis moneter tahun 1997 harusnya jadi pelajaran,".

Ketika itu, utang luar negeri Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya banyak yang jatuh tempo. Namun, pada saat bersamaan, dolar yang dibutuhkan untuk melunasi utang diborong spekulan. Harga dolar melambung gila-gilaan, sehingga utang luar negeri pun membengkak. Indonesia masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya, selama itu pula kita dan anak-cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing.