Kamis, 26 Februari 2009

ILLEGAL FISHING, Kejahatan Transnasional yang dibiarkan

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia.Sebaliknya, masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD9 miliar per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp30-40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.500 pulau. Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial.
Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing.
Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia)।

Akar Masalah
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula?
Hal ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004 yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia। Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing। Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.
Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7।000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Sedangkan di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.

Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing। Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo।31/2004 tentang perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa। Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance)।

Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya। Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

Keenam, kurangnya koordinasi antar-departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia। Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah.

Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC। Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing। Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Dampak dan Solusi
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut। Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, bisa kita lihat Philipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia.

Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal.
Di samping itu, para pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar।

Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU Anti Illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut.
Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia)।

Demikian pula pelaksanaan Permen no 17 tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak.
Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih पेलाकुन्य।

Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing। Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang।

Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

PEMBALAKAN HUTAN SECARA LIAR TELAH MERUGIKAN NEGARA RATUSAN TRILIUN

Sepanjang 2007 merupakan tahun kegagalan penanganan bidang kehutanan. Masih sedikit pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang divonis bersalah dan hanya satu kasus yang pelakunya dijerat hukum.
Meskipun banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging.
Karena itu tahun 2007 sebagai tahun kegagalan pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Sepanjang 2007 jarang ada kasus korupsi kehutanan yang divonis bersalah. Satu-satunya kasus pembalakan liar yang dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi yakni kasus sejuta hektare kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim). “Itu pun dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor,”.
Kasus lain yang berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Antikorupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan kasasi, hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Kerugian negara dari nilai kayu akibat pembalakan liar di Indonesia pada 2007 mencapai Rp20,873 triliun. Bayangkan apabila diakumulasikan kerugian akibat pembalakan liar sejak orde baru, bisa ratusan triliun kerugian yang dialami rakyat dan Negara Indonesia. Ironisnya penyelesaian kasus pembalakan liar yang menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.
Selain itu, masih terjadi simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan. Hal itu telah menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Kesimpangsiuran itu telah mengakibatkan banyak terdakwa yang lepas dari hukuman penjara dan pengembalian uang negara.
Pengungkapan kasus pembalakan liar yang terkait korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal ada sekitar enam analisis PPATK yang menggambarkan proses suap di antara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan aparat pemerintah. “Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK itu disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan,”.
Dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi yang menyangkut hutan ke pelanggaran administrasi. Akibatnya, banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi belaka.
“Menanggapi trik tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus menggunakan formulasi bahwa pelanggaran administrasi pengusahaan kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi,”.

Selasa, 10 Februari 2009

Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport

Sumber : Prof. Dr. M. Amien Rais
Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport? : Tidak ! Saya gembira seminar dan launching buku tentang Freeport yang telah menjajah Indonesia dilakukan di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI di Senayan। Paling tidak secara simbolik seminar kita ini dapat mengingatkan para wakil rakyat , untuk kesekian kalinya, bahwa telah terjadi penjajahan dan kezaliman Freeport terhadap bangsa Indonesia।Buku Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa “Menjajah” Indonesia ini mengungkapkan betapa PT Freeport McMoran Indonesia telah melakukan kejahatan multidimensional. Kejahatan lingkungan , kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kejahatan hukum dan kejahatan politik dilakukan serentak oleh perusahaan pertambangan yang termasuk dalam kategori industri hitam ini. Dalam berbagai kesempatan WALHI dan JATAM telah berulangkali meniup peluit peringatan agar Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah kongkrit untuk menghentikan kejahatan serba aspek itu demi menegakkan kedaulatan ekonomi, hukum dan politik Indonesia. Namun hasilnya sebegitu jauh sungguh mengecewakan. Bahkan kesan yang kita peroleh adalah protes dan jeritan anak-anak bangsa di Papua dan di tempat lain seperti Jakarta dianggap oleh Pemerintah yang berkuasa saat ini sebagai gangguan dan ribut-ribut belaka tanpa makna. Kesan cukup kuat menunjukkan Pemerintah melindungi berbagai kejahatan Freeport itu sambil seolah mengatakan: “Jangan khawatir Freeport, terus saja silahkan menguras SDA kami di Papua, kami akan tetap melindungi Anda”. Di rumah rakyat Indonesia siang ini, kita mencoba meniup peluit (whistle-blowing) sekeras-kerasnya dengan harapan para anggota DPR RI dan Pemerintah Susilo mendengar peringatan dan “teriakan” kita bahwa telah terjadi penjajahan ekonomi dan politik oleh Freeport terhadap Indonesia. Penjajahan yang begitu telak dan kasat mata itu seharusnya segera dihentikan. Namun ada kemungkinan, sekeras-kerasnya peluit dibunyikan, jika yang kita hadapi adalah orang-orang pekak dan tuli, maka si peniup peluit bisa-bisa lelah sendiri. Kasus Freeport bukanlah satu-satunya. Ada berlusin-lusin kontrak karya pertambangan lainnya antara Indonesia dengan berbagai korporasi asing yang tidak masuk akal sehat. Mengapa? Karena hampir semua kontrak karya pertambangan itu merupakan pengulangan praktek penjajahan. Korporasi asing mendapat keuntungan yang terlalu besar, sementara pihak Indonesia hanya mendapat royalti ala kadarnya dan memikul beban dan destruksi lingkungan yang mustahil dapat dipulihkan. Mungkinkah kita mengembalikan sebuah gunung kecil yang sudah lenyap dihajar Freeport dan berubah jadi “danau” buruk dan melelehkan salju di puncak Gunung Jaya Wijaya yang merupakan salah satu keajaiban alam? Keajaiban alam itu kini tinggal kenangan. Keserakahan Freeport adalah tipikal korporasi internasional yang bergerak di bidang pertambangan. Exxon mobil adalah penjarah SDA negara-negara berkembang yang tidak kalah serakah. Kita mengetahui, Pemerintah Susilo telah memberikan operatorship minyak Blok Cepu sepenuhnya kepada Exxon. Juga Exxon diberi hak untuk mengeksploitasi minyak kita sampai tahun 2036. Di salah satu gedung di kompleks MPR/DPR RI ini Persatuan Ahli Geologi Indonesia pernah memprotes keras keputusan Pemerintah itu karena mereka merasa terhina, dianggap tidak mampu mengeksploitasi SDA milik kita sendiri. Sayang, protes itu dianggap angin lalu. Tidak kalah gila adalah bagaimana Indonesia mendapat 0% takkala Exxon menguras gas alam kita di Natuna. Pertambangan gas alam yang dikerjakan Exxon di wilayah Natuna itu sangat ganjil. Produksi gas alam itu dibawa ke wilayah Singapura lewat pipa bawah laut, dijualkan oleh agen-agen Exxon di negara Singa itu, tanpa sedikitpun kita pernah tahu, berapa volume gas alam kita yang dijarah dan berapa nilai kerugian kita untuk masa puluhan tahun. Menurut Paul Krugman, Exxon adalah musuh planet bumi. Dimana-mana Exxon menghancurkan lingkungan hidup demi maksimalisasi profit yang dikejar. Exxon menjadi musuh planet bumi karena telah menyogok para ilmuwan yang meragukan adanya global warming. Implikasinya adalah bahwa Exxon dengan jaringan pertambangannya yang terbesar di muka bumi tidak punya andil dalam global warming. Krugman menunjukkan bahwa bukan hanya Exxon sebagai korporasi yang serakah, tetapi juga para direksinya. Lee Raymond, mantan CEO Exxon, selama bekerja 13 tahun mendapat gaji $ 686 juta atau sekitar 6 trilyun dan 174 milyar rupiah. Lumayan bukan? Kembali ke Freeport. Freeport melanjutkan penjajahan dan penghinaannya pada Indonesia ketika Freeport meng-akuisisi Phelps Dodge Corp., perusahaan pertambangan emas saingannya senilai $ 25,9 milyar. Bayangkan, hampir 26 milyar dolar. Dari jumlah pembayaran yang senilai sekitar 234 trilyun rupiah itu, yang 70% dibayar tunai dan sisanya diselesaikan lewat pinjaman Bank. Saya diberitahu seorang lobbyist Partai Demokrat Amerika, sesungguhnya tindakan Freeport itu keliru karena cadangan SDA kita di perut bumi Papua dijadiakan kolateral atau jaminan kredit bank. Harusnya, kata dia, Indonesia merasa terhina karena tidak dilibatkan sama sekali dalam akuisisi Phelps Dodge tersebut. Saya katakan bagaimana Indonesia merasa terhina , wong faham saja tidak. Tetapi saya yakin Presiden Susilo (mantan menteri pertambangan RI) dan Menteri Purnomo tentu faham dan sangat faham dengan apa yang terjadi. Sikap Indonesia terhadap korporasi asing agaknya memang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain. Saya yakin negara-negara petro-dollar di Timur Tengah menjadi kaya karena pemerintah di Kawasan itu tidak bodoh-bodoh amat. Bahwa korporasi minyak dan pertambangan dari Amerika, Inggris, Belanda, Prancis dll diundang untuk melakukan kegiatan pertambangan itu sudah pasti. Akan tetapi dalam production-sharing dan profit-sharing, negara-negara Timur Tengah itu cukup cerdas dan berani meminta bagian yang lebih masuk akal, dibanding Indonesia. Indonesia nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing yang dalam 24 jam sehari – semalam ideologi mereka adalah maksimalisasi keuntungan dengan segala cara. Pemerintah Susilo tidak boleh lupa bila keserakahan dan keganasan berbagai korporasi asing seperti Freeport tersebut dibiarkan, apalagi dilindungi, hakekatnya Pemerintah Susilo sudah melakukan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, Pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan atau bahkan difasilitasi oleh negara. Kebijakan ekonomi dan kebijakan pertambangan Pemerintah Susilo nampaknya belum berubah dari kebijakan-kebijakan sebelum reformasi. Malah dalam kasus Blok Cepu, kebijakan yang diambil hanyalah meneruskan kebiasaan buruk masa lalu, yakni mensubordinasikan kepentingan bangsa sendiri dibawah kepentingan korporasi asing. Tentu pernyataan saya ini akan dibantah, tetapi fakta selalu berbicara tentang dirinya sendiri. Bayangkan, kontrak karya II antara Indonesia dengan Freeport baru berakhir pada 2041. Di tahun itu angkatan saya, Jusuf Kalla, Susilo B. Yudhoyono, dan seanteronya sudah berpindah ke alam baka. Bisakah kita tenang di alam baka jika generasi cucu kita merasa kecewa berat karena kita biarkan terus kekuatan korporatokrasi menguras ludes SDA kita di daratan, lautan dan perut bumi Indonesia? Sehingga kita mewariskan kemelaratan, kekecewaan dan kehancuran ekologi pada cucu dan cicit kita? Saya tetap yakin bangsa Indonesia bisa jadi bangsa besar di masa datang. Tetapi proyeksi Indonesia menjadi salah satu dari 5 raksasa ekonomi dunia di th 2030 dengan dasar keadaan kita sekarang yang makin terpuruk, kiranya masih jauh panggang dari api. Disamping itu tentu dapat meninabobokkan bangsa yang sedang resah dan gelisah menghadapi kehidupan yang tetap saja sulit. Kemerosotan dalam banyak hal adalah prestasi Pemerintahan Susilo. Kiranya peringatan seorang ekonom terkenal, Ravi Brata, bagus untuk dicamkan oleh Pemerintah Susilo dan para Anggota DPR kita yang mudah lupa diri. Professor Brata mengatakan: “Setiap jenis korupsi adalah buruk, tetapi korupsi kebijakan ekonomi mungkin adalah yang paling bejat. Kejahatan seperti itu terjadi bilamana para anggota DPR bukan saja memperkaya diri sendiri, tetapi juga menolak perbaikan hidup bagi masyarakat yang tertindas, yakni bagi mereka yang memiliki kekuatan tawar yang kecil dan merupakan bagian terlemah dalam masyarakat” (Any kind of corruption is bad; but the corruption of economic policy is perhaps the worst. Such malfeasance occurs when lawmakers not only enrich themselves but also deny just rewards to the downtrodden, that is, to those who have little bargaining power and are the weakest sections of society) Kalau saya boleh menambahkan, DPR RI kita sekarang ini telah, sedang dan akan meloloskan bersama pembuatan berbagai Undang-Undang di bidang kehutanan, pelayaran, penanaman modal asing, pengolahan air, energi dan listrik, yang sebenarnya, sekali lagi, semuanya lebih menguntungkan pihak asing daripada rakyat sendiri. Luar biasa. Kemarin kita dikagetkan dengan kemungkinan lolosnya RUU Penanaman Modal yang kental kepentingan asing. Memang sulit membuktikan bahwa ada tekanan – rayuan – sogokan dari korporasi asing pada sementara anggota DPR kita. Namun dengan adanya penolakan terhadap usulan penanganan dugaan kejahatan korporasi dari DPR RI itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Eksekutif dan Legislatif kita hakikatnya telah menjadikan Indonesia for Sale. Bayangkan, para pemodal asing dibolehkan memiliki hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Indonesia seperti negara yang kesurupan atau kesetanan. Tanah, sebagai aset termahal, dapat diserahkan ke kapitalis asing sampai mendekati satu abad. Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dipindah tangankan ke pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad. Indonesia for Sale!!. Kita perlu belajar dari negara-negara lain seperti Venezuela dan Bolivia. Kedua negara ini berhasil keluar dari cengkeraman korporatokrasi internasional. Mereka berhasil melakukan negosiaisi ulang atas seluruh perjanjian pertambangan dengan pihak asing yang semula merugikan bangsa sendiri. Rakyat Venezuela mulai menikmati hasil SDA nya secara lebih besar sejak sekitar 4 tahun lalu, sedangkan rakyat Bolivia merasakan hal yang sama sejak akhir tahun 2006. Ternyata keduanya berhasil melakukan negosiasi seluruh kontrak pertambangan dengan korporasi asing. Tidak betul bahwa renegosiasi kontrak pertambangan adalah tabu. Malaysia dan Iran, bahkan negara-negara penghasil minyak, gas dan mineral di Timur Tengah pada umumnya tidak menjadi bangsa pecundang. Setahu saya, sulit dicari sebuah bangsa yang lupa diri dan lupa harga, martabat dan kehormatan diri seperti halnya bangsa Indonesia. Yang kita alami sesungguhnya adalah sebuah malapetaka kebodohan, rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) dan sekaligus rasa tidak percaya diri. Namun masih ada secercah harapan, asalkan beberapa hal di bawah ini dapat dipenuhi. Pertama, pimpinan nasional atau pemerintah hendaknya berjiwa pemberani, memiliki moral courage untuk membela kepentingan bangsa sendiri berhadapan dengan kepentingan korporasi internasional. Indonesia harus berdiri sejajar dan sama tinggi dengan negara manapun juga. Indonesia adalah negara merdeka berdaulat penuh. Kini makin terbukti, negara-negara yang menjauhi A.S. dan berusaha menegakkan kemandirian justru semakin berhasil dan mengalami kemajuan cepat. Anehnya, Indonesia dibawah Presiden Susilo semakin merapatkan diri dengan Paman Sam. Kedua, diperlukan kekompakan antara Eksekutif dan Legislatif untuk memukul balik setiap usaha hegemoni korporasi asing dalam menguasai Indonesia. Yang terlihat sekarang kedua lembaga demokrasi kita justru semakin mendekat dan mengunggulkan kepentingan korporasi asing daripada kepentingan bangsa sendiri. Ketiga, komponen-komponen bangsa seperti TNI, Polri, kaum intelektual, media massa, tokoh-tokoh muda dan tokoh-tokoh informal seharusnya memadukan kekuatan untuk mempertahankan kedaulatan kita dalam arti luas dari penerobosan kepentingan korporasi asing. Sayang sampai sekarang belum terlihat penggalangan visi dan penyamaan posisi dalam menghadapi invasi politik, ekonomi dan budaya sebagai akibat proses globalisasi yang tidak terelakkan. Yang terlihat adalah baik DPR maupun Pemerintah berlomba membuka pintu rekolonisasi ekonomi Indonesia. Dengan stock kepemimpinan nasional yang sedang berkuasa sekarang ini dan dengan gaya dan semangat kerja seperti sekarang, jawaban atas pertanyaan Beranikah Indonesia Menghentikan “Penjajahan” Freeport? barangkali sudah jelas. Jawaban itu adalah tidak berani. Sama sekali tidak berani. Namun, saya harap saya keliru. Wallahu a’lam. Catatan: Harian The New York Times edisi 27 Desember 2005 pernah memuat laporan panjang, 3 halaman penuh tentang kegiatan Freeport dengan Judul “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”. Disitu digambarkan betapa sementara perwira tinggi TNI dan Polri telah masuk dalam daftar penerima honorarium khusus. Juga untuk beaya pengadaan infrastruktur militer telah dikeluarkan dana sebanyak 35 juta dollar. Termasuk 70 Land Rover dan Land Cruiser yang diperbaharui setiap tahun. Seorang tokoh CIA dan dua mantan perwira militer AS juga digunakan. Melihat jaringan intelligence, polisi dan militer antara AS dan Indonesia di Freeport, agaknya tidak mudah untuk mengatakan NO pada Freeport.