Senin, 04 Mei 2009

KAPITALISME DAN PENJAJAHAN EKONOMI

Pada tahun 1979 Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris, dan tahun 1980 Ronald Reagan terpilih sebagai presiden AS. Kedua tokoh ini sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara. Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini, terjadilah pergeseran prioritas dan perubahan secara fundamental terhadap peran pemerintah dengan cepat, meninggalkan komitmen pemerintah sebelumnya dalam welfare state dan full employment dengan lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik.
Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga. Mereka serempak melakukan pemotongan atas subsidi, beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Karena tindakan mereka itu, para analis percaya bahwa kedua tokoh itulah yang menjadi pelopor bergesernya kebijakan ekonomi ordo liberalisme klasik menjadi ordo neo-liberalisme di Eropa dan Amerika. Kebijakan ini kemudian ditiru oleh negara-negara lainnya tak terkecuali negara-negara Asia. Sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia setelah melihat success story ”macan-macan ekonomi Asia” seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Perubahan itu juga ditandai dengan dijualnya perusahaan-perusahaan negara kepada swasta, pasar bebas dan penghapusan subsidi kepada rakyat.

Kapitalisme dan Penjajahan Ekonomi

Asumsi neo-liberalisme adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang atau jasa atau modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep ’Homo Economics’, yaitu barang atau jasa atau modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga ”Private Property” pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga termasuk negara. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Maka terjadilah berbagai pemindahan regulasi dari lingkup arena sosial menjadi lingkup urusan personal saja. Apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial yang merupakan persoalan yang membutuhkan peran negara―seperti kemiskinan, kesehatan, pengangguran, penanganan bencana alam, pendidikan dan sebagainya―kemudian dianggap hanya menjadi masalah individual atau personal semata yang hanya membutuhkan kebijakan individual self-care atau social self-care saja tanpa peran aktif negara. Kebijakan subsidi seperti di negara welfare state sedikit demi sedikit dihapuskan. Sektor-sektor publik seperti yang ditangani pemerintah lewat BUMN-BUMN pun diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pasar.
Jadi, sebenarnya mengubah kebijakan ekonomi walfare state ke ekonomi neo-liberalisme hanyalah mengembalikan semangat ajaran kapitalisme murni seperti pada awal masa revolusi industri di Inggris. Yaitu dengan berpegang secara utuh pada ajaran invisible hands-nya Adam Smith. Adam smith percaya bahwa kebebasan ekonomi, tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, akan membawa kesejahteraan dan kemajuan.
Untuk dapat merambah dunia, neo-liberalisme melakukan tiga tahapan; (1) privatisasi (2) liberalisasi dan (3) pasar bebas. Dimotori organisasi seperti IMF-Word Bank-CGI-Paris Club dan sebagainya yang di drive oleh WTO, negara-negara kapitalis mempromosikan atau lebih tepatnya memaksakan privatisasi, liberalisasi dan pasar bebas kepada negara-negara lain. Metode yang mereka pakai guna melegalkan ketiga kebijakan diatas antara lain dengan investasi asing, demokratisasi, tekanan ekonomi, tekanan politik, utang luar negeri sampai tekanan militer. Metode seperti ini cukup berhasil, bahkan di beberapa negara cukup dengan menawarkan investasi asing atau paling keras memaksakan deregulasi ekonomi sebagai persyaratan cairnya utang luar negeri, seperti Indonesia. Namun tak jarang, penolakan suatu negara mengharuskan mereka melakukan tekanan militer, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dan Irak. Duniapun menjadi ”rata” dengan satu tata aturan, sehingga para kapitalis atau konglomerat dari negara mana saja dengan mudah dapat menguasai apapun yang mereka inginkan dan dimanapun. Negara lain seolah-olah menjadi pekarangan atau ladang mereka yang bisa mereka petik hasilnya kapanpun mereka inginkan.
Namun umumnya masyarakat, masyarakat di negara-negara yang tidak memiliki kesadaran ideologis berpendapat bahwa investasi asing yang masuk ke dalam negeri akan secara langsung berpengaruh pada peningkatan taraf perekonomian rakyat secara keseluruhan. Karenanya pemerintah membuka jalan sebesar-besarnya kepada investor asing untuk berinvestasi, termasuk di sektor-sektor publik. Padahal jika kita mencoba lebih kritis, investasi asing sesungguhnya membawa misi-misi tertentu yang tujuannya tidak lain untuk semakin memperkaya diri investor itu sendiri.
Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah untuk senantiasa menyadari fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Pemerintah harus menyadari kewajibannya dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan jaminan hidup bagi rakyat tidak mampu. Investasi asing harus dicermati agar tidak sampai mengganggu pelayanan pemerintah pada sektor publik atau bahkan mengambil alih fungsi pemerintah dalam memenuhi hak-hak minimum rakyat. Investasi asing ataupun utang luar negeri yang masuk jangan selalu dianggap sebagai ”penolong” yang bisa mengangkat taraf ekonomi rakyat, karena seringkali investasi asing termasuk utang luar negeri sengaja dijadikan sebagai kedok untuk selanjutnya menekan dan menguasai atau merampok aset-aset yang dimiliki oleh negara-negara berkembang.
Jika investasi asing yang terjadi sampai merenggut kekayaan alam yang kita miliki dan membawa sebagian besar hasilnya ke luar negeri, ini sama artinya kita dijajah secara ekonomi. Persis seperti aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan multinasional VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di nusantara yang dimulai pada abad ke 17-an. VOC pada waktu itu memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa.
Sekarang, penjajah tidak perlu lagi bersusah payah melakukan ekspansi militer atau membunuhi rakyat di suatu negara untuk menguasai dan mengeruk kekayaan alamnya. Penjajah cukup mendorong privatisasi dan swastanisasi atas semua aset-aset negara tersebut kemudian menerapkan liberalisasi dan pasar bebas. Dan kita dapat melihat betapa mudahnya seluruh kekayaan dan aset-aset negara tersebut jatuh ke tangan-tangan penjajah itu. Jika penjajahan versi lama hanya merampas tanah dan rempah-rempah, maka penjajahan versi baru dengan wajah kapitalisme ini merampas seluruh kehidupan. Merampas hak-hak dasar rakyat, merampas kesejahteraan bersama diatas keserakahan segelintir orang-orang kaya, Kesenjangan ekonomi, kelaparan, kemiskinan dan kerusakan ekosistem yang terjadi dimana-mana.

Kapitalisme dan Kemakmuran Global

Demikianlah sistem kapitalisme mengatur perekonomian. Kapitalisme juga mengharuskan adanya kebijakan kompetisi atau competition policy di sektor-sektor yang semula merupakan sektor non-perdagangan dan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara seperti pada sektor listrik, sumber daya air, dan migas. Sektor listrik, energi dan migas, yang semula merupakan barang publik atau public goods dengan penguasaan dan pengendalian vertically integrated oleh negara, dirubah konsepnya menjadi komoditas ekonomis yang harganya mengikuti dinamika pasar.
Imbasnya, hanya yang kaya dan bermodal-lah yang mampu menguasai perekonomian. Karena sudah sedemikian bebasnya pasar dunia, monopoli perdagangan dan persaingan yang tidak adil pun semakin menjadi. Di bidang pertanian misalnya, perdagangan gandum dunia sekitar 80 % didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. 75 % pangsa pasar perdagangan pisang dunia, dikuasai oleh hanya lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa. Tiga perusahaan menguasai 83 % perdagangan kakao atau coklat, demikian juga dengan 85 % perdagangan teh. Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 % produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco dan Japan Tobacco.
Tiga ratus perusahaan multinasional atau perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 % aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 Milyar USD hingga 126 Milyar USD, disatu sisi lainnya saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai GDP melebihi jumlah tersebut. Volume penjualan mereka mencapai 2 atau 3 dari volume penjualan perdagangan dunia, dan disatu sisi lainnya produksi mereka merupakan 1 atau 3 dari volume produksi dunia. 50 % dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 % dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.
Saat ini paling tidak ada empat perusahaan air yang menguasai sektor privatisasi air diseluruh dunia, yaitu Thames/Lyon, Vivendi, Veolia dan Suez. Mereka menguasai 75 % pangsa pasar air dunia dengan pendapatan sebesar 400 miliar – 3 triliun USD per tahun. Tahun 2001, sedikitnya terdapat 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), dengan total produksi sebesar 4,2 milyar liter. Dimana 65 % merupakan pangsa pasarnya Aqua miliknya Danone Group dan Ades kepunyaannya the Coca Cola Company, sedangkan sisanya yang 35 % diperebutkan oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Menurut data FAO, peruntukan air di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 93 % untuk pertanian, 6 % untuk konsumsi penduduk, 1 % untuk kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukan untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70 %. PDAM di berbagai daerah telah terprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan seperti Cascal BV, Thames, Vivendi, WMD dan beberapa perusahaan lain yang siap-siap merangsek menguasai PDAM di seluruh Indonesia. Indocement, produsen semen merk Tiga Roda dikuasai oleh Heidelberg, Semen Gresik dikangkangi oleh Cemex, bank BCA digenggam Farallon, bank Danamon pun demikian juga nasibnya, beralih tangan ke Temasek dan Deutche Bank. Perusahaan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel pun dimiliki oleh Temasek. 90 % pengelolaan tambang dikuasai beberapa perusahaan asing seperti Chevron, Exxon Mobile, Freeport , Total Indonesie dan masih banyak lagi.
WTO juga menyarankan belanja pemerintah agar di ”disiplinkan”. Jika selama ini tender untuk belanja pemerintah bersifat nasional, dengan adanya peraturan dari WTO ini, maka tender harus dibuka secara internasional dengan mengikutsertakan perusahaan multinasional.
Privatisasi tidak hanya terjadi pada sektor-sektor pelayanan publik. Pertanian yang berkaitan dengan pangan pun tak terkecuali, turut diliberalkan dan diprivatisasi oleh WTO. Sebagai contoh, saat ini sekitar seratus perusahaan multinasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih atau pestisida atau pupuk kimia atau produk pertanian atau pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70 % perdagangan pertanian dunia. Monsanto atau Syentega atau Astra Seneca atau Novartis atau Cargill telah menguasai hampir 75 % pasar global pestisida, menguasai 100 % pasar global bibit transgenik dan sekitar 25 % penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalti patennya. Korporasi-korporasi raksasa itu menguasai dan mengendalikan perdagangan dunia. Salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga, sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat, juga merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua. Selain itu juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.
Inilah tatanan ekonomi kapitalisme. Jika semua hal yang menyangkut kebutuhan mendasar bagi hajat hidup orang banyak hanya diperlakukan sebagai tak lebih dari sekedar komoditas bisnis semata, dan prinsip pasar bebas pun diterapkan pada semua lini tanpa kecuali termasuk di sektor pendidikan, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut perlindungan dan kebutuhan lainnya yang bersifat mendasar bagi warga negaranya, maka orang-orang kelompok rentan dan lemah seperti yang cacat, tua, sakit, miskin, buta-huruf, tak punya ketrampilan yang memadai menurut pasar kerja, dsb, akan selalu ketinggalan dan semakin terpinggirkan dalam kompetisi pasar versi kapitalisme. Alih-alih membawa kesejahteraan dan kemakmuran, kapitalisme justru malah memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan distribusi kekayaan, merampas hak-hak dasar rakyat dan semakin menggerogoti fungsi-fungsi sosial negara.
Data UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan 1 % warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 % warga termiskin. 5 % warga terkaya menguasai 114 kali lipat income yang diperoleh 5 % warga termiskin. Income warga terkaya di AS sama dengan jumlah income yang diterima 43 % penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di AS sama dengan pendapatan 2 Milyar warga dunia. Tahun 2000 di Amerika sendiri, 1 % warga Amerika yang terkaya mempunyai harta yang sama banyak dengan 95 % harta warga yang lain. Sedangkan 40 % rakyat termiskin hanya memegang 0.2 % kekayaan negara.
Di Indonesia, rentang antara pendapatan tertinggi dan terendah juga sangat lebar, karena sekitar 10 % penduduk terkaya masih menguasai sekitar 80 % aset nasional. Biaya kesehatan yang tinggi semakin memberatkan rakyat. Kriminalitas sejak tahun 1998 sampai sekarang naik 1.000 %. Di bidang pendidikan 4,5 juta anak tiap tahun putus sekolah. Fasilitas pendidikan seperti sekolah dan kelengkapannya terabaikan. Kekurangan gizi mencapai angka 8 % dari total jumlah anak balita. Kwik Kian Gie pernah melaporkan kasus di dua desa, yakni Desa Klungkung (10 kilometer dari kota Jember) dan di Gadingrejo (Juwana) yang pernah dikunjunginya semasa ia masih Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Rakyat miskin di dua desa itu hidup hanya dengan Rp 1.250 atau sekitar 0,13 dollar AS per hari per orang. Dengan pendapatan sebesar itu, mereka setiap hari hanya bisa makan dua kali, itu pun bubur sangat encer hanya dengan lauk garam. Kadang ada sayuran, tetapi kadang kala juga tidak ada. Daging tidak pernah mereka lihat. Pengangguran meningkat 1 juta orang setiap tahunnya.
Melihat kenyataan ini, pemerintah tidak serta merta mencari solusi tuntas untuk menyelesaikan inti persoalannya. Malah menambah utang untuk menutupi defisit APBN 2006. Padahal utang luar negeri Indonesia sudah mencapai hampir Rp.2000 triliun. Artinya, jika di bagi dengan jumlah penduduk, setiap manusia Indonesia rata-rata memikul utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 10 juta per kepala.