Jumat, 12 Juni 2009

NEOLIBERALISME DI INDONESIA

Jejak ekonomi Neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.

Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari Sosialisme ke arah semi Kapitalisme.

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri, maupun sektor perdagangan.

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat itu.

Masa pembangunan ekonomi Orba pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu, paling tidak, dapat diukur dari beberapa indikator utama yaitu:

1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.
4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

Dampak yang Ditimbulkan
Dampak ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:

1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) --baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.

Sebagai contoh di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu itu, yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia.

Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH.

Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal menuai getahnya.

Menurut laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan tahun 2003) diperkirakan kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta hektar dengan laju pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta hektar per tahun.

Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orba, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah Pertamina dan sebagian kecil swasta nasional lainnya.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi minyak di dalam negeri maka mulai November 2005 Pemerintah membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam negeri maupun asing.

Jika Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat dipastikan bahwa harga BBM bakal naik lagi. Namun, dengan merek yang berbeda-beda. Paling tidak sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan batubara 23,5% kebutuhan energi dunia.

Hampir sepertiga cadangan batubara dunia ada di kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara, termasuk yang ditemukan produsen dan kontraktor kerja sama, sampai tahun 2001 mencapai 145,8 miliar ton.

Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta. Dari total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6% dihasilkan oleh penambang swasta.

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar.

Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang menguntungkan Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya. Dimulai sejak tahun 1967.

Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Pada
Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apa pun.

Pada tahun 1988 secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg. Kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.

Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta.

Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana pengembangan masyarakat Papua yaitu sebesar US$ 15 juta.

Pada zaman Reformasi nasib PT FI semakin bersinar. Pada tahun 2001 laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta.

Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan,dari laba bersih sebesar itu sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%. Sedangkan PT FI menguasai 90,64%.

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk FI, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya.

Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing.

2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang (debt trap). Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional yang berbasis pada sistem bunga.

Akibat krisis itu 16 bank dilikuidasi Pemerintah. 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil-alih (BTO). Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional hingga Desember 2000 Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun.

Akibatnya utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya US$ 55 miliar, kini membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri) ditambah Rp 695 triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir.

Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi.

Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah harus mengeluarkan sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 triliun pada tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018.

Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya (baca tulisan saya di opini detik.com tanggal 30 April 2008 tentang "Beban Obligasi Rekap"). Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat itu sudah mencapai 17.7%. Naik dari sekitar 10% pada Semester I tahun 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan suku bunga sebesar satu persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar Pemerintah naik Rp 2,2 triliun.

Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank ditutup, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan Indonesia. Akibat penutupan itu Pemerintah tentu harus menanggung seluruh kerugian nasabah.

Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada rakyat melalui APBN. Hal itu belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan oleh sejumlah orang ke Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran. Bahkan, triliunan rupiah.

Sampai saat ini tanggungan Pemerintah untuk dunia perbankan belum juga susut. Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati obligasi Pemerintah. Hal itu membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun setiap tahunnya.

Sekali lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat melalui pembayaran pajak.

Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank yang sudah mulai sehat harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang lain di lingkup BUMN. Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di bank besar seperti BCA dan Bank Danamon harus dijual ke investor asing.

Nasib yang sama juga menimpa BUMN sehat lainnya seperti Indosat Tbk, Telkom Tbk, Wisma Nusantara Indonesia, Bukit Asam Tbk, Semen Gresik, Pelindo II, dan lain-lain.

3. Munculnya kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok.

Pada tahun 1993 omset dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya di antaranya Om Liem (Salim
Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia tahun itu.

Di sisi lain, jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data BPS 1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di kota dan 26 juta di desa).

Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal. Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang rakyat miskin.

Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat diterapkannya ekonomi Neoliberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam saja menyaksikan semua ini.

Kesabaran rakyat sudah habis. Saatnya momentum Kebangkitan Nasional ini rakyat menggugat agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan dengan benar demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.