Kamis, 11 Maret 2010

HUKUMAN MATI UNTUK KORUPTOR: upaya memenuhi azas keadilan

DESAKAN agar para koruptor dihukum mati menguat lagi dewasa ini. Menguat karena fakta yang semakin menantang di depan mata bahwa korupsi ternyata telah demikian hebatnya merambah dan merasuki struktur berbagai pranata. Tidak lagi perbuatan oknum, tetapi terpelihara secara sistemik.

Karena penyakitnya telah sistemik, maka berpengaruh pada pola pikir kolektif. Yaitu, korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan memalukan, tetapi justru diapresiasi sebagai kebajikan. Korupsi telah 'membantu' terwujudnya 'kenikmatan' bagi banyak orang. Karena itu korupsi dianggap sebagai pahala.

Menulis (lagi) tentang korupsi seperti ini, lama kelamaan dianggap sebagai perbuatan yang tidak patut. Inilah yang disebut dengan intrusi pahala korupsi dalam sistem berpikir.

Intrusi itu jelas tercermin bila kita mengamati televisi yang gencar menayangkan para anggota DPR yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus suap. Di depan kamera yang menyorot, mereka (sebagai tersangka) tidak tertunduk malu. Mereka malah menebar senyum.

Bagi mereka yang mendukung hukuman mati, korupsi yang semakin marak dianggap sebagai akibat dari hukuman yang tidak menimbulkan efek jera. Para koruptor selama ini oleh para hakim dijatuhi hukuman ringan, bahkan tidak sedikit yang dibebaskan. Hukuman paling berat terhadap koruptor dijatuhkan kepada Adrian Waworuntu dalam kasus korupsi BNI senilai lebih dari Rp 1 triliun.

Padahal, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diberi ruang tentang hukuman mati itu. Yaitu, "dalam kondisi tertentu, hukuman mati terhadap koruptor bisa dilakukan."
Persoalannya, para hakim menilai 'kondisi tertentu' itu belum memenuhi syarat. Karena persepsi demikian, pikiran tentang hukuman mati malah dianggap lelucon.
Lelucon karena di mata para hakim, korupsi tidak merupakan kejahatan yang menyengsarakan rakyat. Bila mereka memiliki sense of crisis dan cara berpikir yang betul, krisis sekarang ini yang mendera jutaan rakyat Indonesia dalam prahara kemiskinan adalah akibat korupsi yang dilakukan secara sistemik oleh pranata-pranata yang memiliki otoritas menyelenggarakan atau bertanggung jawab terhadap kemaslahatan publik.

Inilah aspek malapetaka yang diciptakan oleh koruptor bagi khalayak. Koruptor sesungguhnya telah membunuh dan merampas hak kesejahteraan yang seharusnya milik orang banyak. Ribuan bayi yang meninggal setiap tahun karena kekurangan gizi, memiliki hubungan kausal dengan korupsi. Puluhan orang yang bunuh diri karena tidak mampu menafkahi keluarga, memiliki tautan kausal dengan korupsi.
Rakyat yang harus hidup dalam kegelapan karena tidak menikmati listrik, memiliki sangkut-paut dengan korupsi. Apalagi kalau diingat 30% APBN lenyap akibat korupsi di berbagai departemen. Ini berarti Rp 300 triliun APBN ? dengan asumsi APBN kita sekarang telah menyentuh Rp 1.000 triliuin ? telah dirampok dari tangan rakyat oleh para koruptor.

Alur berpikir seperti ini seharusnya merasuki para hakim, polisi, dan jaksa. Tetapi mengapa tidak terjadi? Jangan heran, karena arus korupsi yang kencang dan dahsyat justru berputar-putar di kalangan penegak hukum. Di sanalah salah satu sentrum mafia peradilan yang memperjualbelikan perkara.

Tidak mengherankan bila korupsi semakin marak di tengah arus pemberantasan yang semakin galak dewasa ini. Mengapa? Karena pemberantasan korupsi oleh penegak hukum yang terbelenggu mafia peradilan telah menimbulkan korupsi baru.
Inilah yang menyebabkan hukuman mati terhadap koruptor masih dianggap sebagai lelucon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar