Kamis, 26 Februari 2009

PEMBALAKAN HUTAN SECARA LIAR TELAH MERUGIKAN NEGARA RATUSAN TRILIUN

Sepanjang 2007 merupakan tahun kegagalan penanganan bidang kehutanan. Masih sedikit pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang divonis bersalah dan hanya satu kasus yang pelakunya dijerat hukum.
Meskipun banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging.
Karena itu tahun 2007 sebagai tahun kegagalan pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Sepanjang 2007 jarang ada kasus korupsi kehutanan yang divonis bersalah. Satu-satunya kasus pembalakan liar yang dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi yakni kasus sejuta hektare kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim). “Itu pun dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor,”.
Kasus lain yang berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Antikorupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan kasasi, hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Kerugian negara dari nilai kayu akibat pembalakan liar di Indonesia pada 2007 mencapai Rp20,873 triliun. Bayangkan apabila diakumulasikan kerugian akibat pembalakan liar sejak orde baru, bisa ratusan triliun kerugian yang dialami rakyat dan Negara Indonesia. Ironisnya penyelesaian kasus pembalakan liar yang menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.
Selain itu, masih terjadi simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan. Hal itu telah menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Kesimpangsiuran itu telah mengakibatkan banyak terdakwa yang lepas dari hukuman penjara dan pengembalian uang negara.
Pengungkapan kasus pembalakan liar yang terkait korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal ada sekitar enam analisis PPATK yang menggambarkan proses suap di antara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan aparat pemerintah. “Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK itu disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan,”.
Dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi yang menyangkut hutan ke pelanggaran administrasi. Akibatnya, banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi belaka.
“Menanggapi trik tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus menggunakan formulasi bahwa pelanggaran administrasi pengusahaan kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi,”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar