Jumat, 16 Januari 2009

BISAKAH OBLIGASI REKAP DIHAPUS ??

Obligasi rekap telah dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia pada akhir tahun 1990-an, untuk mengatasi kekurangan modal bank-bank milik pemerintah sebesar Rp 750 triliiun. Hal itu ternyata telah membawa kenestapaan bagi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) kita hingga saat ini. Mengapa? Ketika obligasi rekap diterbitkan, wujudnya adalah kertas utang yang bertuliskan I owe you (IOY). Artinya, saya (pemerintah) meminjam kepada Anda. Pinjaman itu semula Rp 750 triliun, tetapi tidak ada uang tunai yang masuk ke kas negara. Yang ada cuma kertasnya saja (obligasi rekap) yang diserahkan kepada bank-bank milik pemerintah itu. Untuk itu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan aturan bahwa obligasi rekap itu dianggap sama dengan penyetoran uang tunai.
Jadi, secara pembukuannya modal bank yang bersangkutan bertambah (walaupun cuma di atas kertas saja), sementara di lain pihak bank yang bersangkutan memiliki tagihan kepada pemerintah senilai obligasi rekap tersebut. Untuk itu bank yang bersangkutan akan menerima penghasilan tetap berupa bunga obligasi setiap tahunnya.Untuk lebih jelasnya, misalnya Bank A adalah bank milik pemerintah yang sedang kekurangan modal sebesar Rp 100 miliar. Lalu pemerintah memberi suntikan obligasi rekap pada bank tersebut. Pada kenyataannya itu hanyalah surat atau kertas obligasi rekap senilai Rp 100 miliar, dengan bunga katakanlah 10 persen per tahun. Maka di buku Bank A itu, dicatat modal bertambah dengan Rp 100 miliar, dan di lain pihak tagihan kepada pemerintah dicatat dalam jumlah yang sama. Pemerintah tidak mengeluarkan uang tunai sepeser pun, tetapi berkewajiban membayar bunga obligasi sebesar Rp 10 miliar per tahun.
Jadi pada saat kebijakan ini dikeluarkan belum ada beban keuangan APBN. Akan tetapi sejak saat itu sampai obligasi rekap dilunasi (30 tahun lagi) pemerintah setiap tahunnya membebani APBN sebesar Rp 10 miliar untuk keuntungan Bank A. Dengan perkataan lain, direksi bank itu mendapat penempatan investasi yang sangat baik, karena tidak ada risiko, dan pendapatannya pun mengalir setiap saat? Masalahnya, apakah pemerintah cukup adil membebankan APBN sebesar bunga obligasi rekap setiap tahun (hampir Rp 100 triliun), yang berarti merupakan ongkos ketidaknyamanan yang harus diderita rakyat banyak. Sebab, andaikata uang itu dibelanjakan untuk membangun Sekolah Dasar (SD), atau untuk membangun sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), tentu sudah banyak yang bisa dibangun. Lebih jauh, utang pokok obligasi rekap tetap saja harus dibayar. Kapan? Jawabnya, wallahualam.
Alangkah kasihan nasib generasi mendatang. Mereka tidak menerima nikmatnya, tetapi harus membayar akibatnya? Apakah hal seperti ini adil?Dapat Dilunasi Sekarang kita harus mencari jalan agar obligasi rekap itu pokoknya bisa dilunasi. Dengan demikian bunga setiap tahunnya otomatis berhenti. Hal ini dimungkinkan karena dulu, ketika kebijakan obligasi rekap diambil untuk menolong permodalan bank-bank milik pemerintah, itu lebih banyak bersifat penyesuaian secara pembukuan saja (accounting solution), ketimbang keberadaan dana segar yang masuk ke kas perbankan. Di pembukuan bank yang menerima injeksi obligasi rekap, dicatat modal bertambah sebesar nilai obligasi rekap dan di pihak lain aset bank tersebut bertambah dan dicatat sebesar nilai obligasi rekap tadi. Sebab pada saat injeksi modal ke bank yang bersangkutan adalah hanya perlakuan catatan akunting saja, maka hal ini dari sudut pembukuan pemerintah dapat juga diselesaikan secara catatan accounting juga.
Untuk itu perlu dibuat Neraca Kekayaan Negara (NKN) yang menggambarkan aktiva dan pasiva negara. Pada sesi aktiva dicatat, aktiva keuangan dan aktiva fisik (nonkeuangan). Hal ini berarti kekayaan negara yang diperoleh karena penambahan penyetor modal pemerintah pada bank yang bersangkutan dengan mengeluarkan obligasi rekap dicatat sebagai aktiva keuangan berupa saham pemerintah pada bank yang bersangkutan. Di lain pihak untuk jumlah yang sama pada sisi pasiva, dicatat sebagai utang pemerintah semula nilai obligasi rekap, kepada para pemegang obligasi.
Untuk menyelesaikan masalah obligasi rekap ini, pemerintah memutuskan utang negara senilai obligasi rekap itu dijadikan dan dicatat sebagai Kekayaan Bersih dari negara. Pada saat yang sama, kepada para pemegang obligasi rekap diberikan semacam surat berharga atau kupon dengan nilai misalnya 1,2 x nilai nominal dari obligasi rekap, yakni berupa fasilitas bebas pajak. Kepada pemegang obligasi rekap diberi semacam berupa bebas pajak selama beberapa tahun dengan nilai 1,2 x nilai obligasi rekap. Dengan cara seperti ini pemerintah tidak harus melunasi obligasi rekap lagi, karena sudah terlunasi dengan kupon-kupon bebas pajak, dan itu berarti juga tidak lagi membayar bunga obligasi rekap lagi untuk seterusnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar