Jumat, 16 Januari 2009

KONTROVERSI DIVESTASI BCA (sebuah catatan kelam atas pengambilan kebijakan yang jelas-jelas salah)

Divestasi BCA yang dilakukan Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri yang diarsiteki Meneg BUMN Laksamana Sukardi memang meninggalkan berbagai kontroversi. Namun, dari sekian kontroversi yang dibuat, divestasi BCA merupakan the biggest controversy. Mengapa demikian? Ini mengingat, jika dibandingkan dengan berbagai kontroversi yang telah dilakukan pemerintah, maka divestasi BCA sama sekali tidak memiliki argumentasi yang kuat, baik dari sisi manapun.
Dalam rencana divestasi 51% saham BCA, pemerintah hanya menargetkan dana sekitar Rp 5 triliun. Meski hanya merupakan angka target, jelas sinyal ini akan dibaca oleh para bidder sebagai real value dari BCA. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa para bidder akan mengajukan penawaran tidak akan jauh dari angka Rp 5 triliun.
Angka ini, jelas angka yang sangat rendah. Dana rekapitalisasi BCA mencapai Rp 60 triliun. Mengacu UU Propenas, recovery aset seharusnya 70%. Itu berarti, paling tidak pemerintah harus mendapatkan dana sekitar Rp 42 triliun. Dari transaksi ini saja, pemerintah telah mengalami kerugian sekitar Rp 37 triliun.
Padahal, di samping kerugian tersebut, pemerintah masih harus mengeluarkan cost lain sehubungan dengan BCA ini. Misalnya, pemerintah telah mengeluarkan dana BLBI sebesar Rp 52,59 triliun dan baru dibayar Rp 15,62 triliun sekitar 3,5 tahun. Padahal, dalam skema PKPS, Salim diwajibkan melunasi BLBI tersebut dalam waktu 4 tahun. Jelas, ini merupakan kerugian bagi negara.
Kemudian, setelah mendapatkan dana Rp 5 triliun, ternyata juga pemerintah masih harus mengeluarkan biaya bunga obligasi rekap. Perlu diketahui, portofolio obligasi pemerintah sebesar Rp 60 triliun di BCA belum dikurangi. Dengan demikian, pemerintah masih harus mengeluarkan biaya bunga obligasi rekap yang dibayar oleh APBN. Katakanlah bunga obligasi itu 1% per bulan (12% setahun). Angka ini adalah angka konservatif, karena suku bunga SBI kini 17,50%. Itu artinya, setiap tahun pemerintah harus menyetor kepada pemilik baru BCA sebesar Rp 7,5 triliun. Dihitung dari 12% dikalikan Rp 60 triliun.
Angka ini masih bisa berubah, jika suku bunga SBI mengalami fluktuasi. Ini mengingat, tidak kurang Rp 57 triliun obligasi rekap BCA (dari total Rp 60 triliun) merupakan obligasi variable rate yang suku bunganya sangat tergantung dari fluktuasi suku bunga SBI.
Apa makna ini? Itu artinya, sama saja kita memberikan BCA secara cuma-cuma kepada pemilik baru (asing atau lokal). Karena, kita hanya dapat Rp 5 triliun, tapi setiap tahun kita masih bayar Rp 7,2 triliun. Bahkan, tidak hanya gratis, kita juga mensubsidi BCA yang bukan lagi merupakan bank pemerintah tersebut.
Pada dasarnya, jika BPPN tidak berorientasi mengejar target APBN, BPPN sesungguhnya bisa lebih kreatif untuk mengurangi kerugian ini. Misalnya, BPPN bisa menukar lebih dulu obligasi yang dimiliki BCA dengan kredit yang telah direstrukturisasi. Namun sayang, prestasi BPPN dalam merestrukturisasi kredit, juga masih minim. Penulis, tidak habis berfikir, mengapa pemerintah mendahulukan divestasi yang efeknya sesaat, ketimbang mengambil langkah strategis dengan menukar obligasi dengan kredit yang telah direstrukturisasi?
Oleh sebab itu, paket yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum proses divestasi adalah pertukaran obligasi pemerintah dengan kredit yang sudah disehatkan (loan-bond swap). Dengan mekanisme semacam ini, besaran obligasi pemerintah tidak akan besar lagi, sehingga tidak membebani keuangan pemerintah. Persoalan inilah sebenarnya yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan perlu mendapatkan prioritas lebih serius sebelum divestasi BCA.
Kejanggalan lain dari proses divestasi BCA ini adalah proses penentuan final bidder BCA. Sebagaimana diketahui, batas akhir penyerahan angka penawaran oleh bidder kepada BPPN adalah 28 Januari 2002. Namun, hingga tanggal tersebut keempat final bidder yang telah ditetapkan BPPN - yaitu konsorsium Farralon Capital, Standard Chartered, Bank Mega, dan GKBI- ternyata belum menyerahkan berkas data secara lengkap kepada BI selaku pelaksana fit and proper test. Kondisi ini jelas akan menyulitkan bagi BI untuk melakukan fit and proper test.
BI misalnya, harus menyelidiki siapa-siapa di belakang para konsorsium bidder tersebut. Kemudian, BI juga harus menyelidiki bagaimana track record dari para bidder. BI juga harus menyelidiki asal dana yang akan digunakan untuk membeli BCA. Semua itu, harus dapat dipastikan oleh BI. Ini mengingat, telah ada rule of game yang mensyaratkan agar misalnya, pemilik lama (Salim) tidak ikut masuk kembali ke BCA.
Demikian juga, dana yang dipergunakan untuk membeli BCA tidak diperkenankan berasal dari pinjaman. Para bidder juga disyaratkan memiliki track record yang baik, dalam arti tidak termasuk dalam daftar orang tercela (DOT). Nah, kalau semua data-data tidak bisa dilengkapi, bagaimana mungkin BI bisa secara detail mengetahui ada tidaknya hal-hal tersebut?
Tampaknya, terdapat keterburu-buruan dari proses penentuan final bidder oleh BPPN. Sepertinya, bagi BPPN, yang dipentingkan adalah uang masuk. Siapa yang membeli dan darimana sumber dananya tidak menjadi masalah. Padahal, dari pihak BI mengaku bahwa paling tidak, waktu yang diperlukan untuk melakukan fit and proper test adalah 30 hari.
Jika kita mau jujur, maka Bank BCA sampai sekarang masih saja terus menyusu pada induknya (pemerintah). BCA yang konon dikatakan sudah sehat ini, ternyata masih mengandalkan pendapatannya dari kegiatan di luar kehidupan perbankan yang normal. Industri bank yang normal, selayaknya mengandalkan pendapatan dari bunga kredit.
BCA memang telah meraih untung. Laba bersih pertahun sudah triliunan rupiah. Namun, sesungguhnya, jika tidak tertolong revenue dari bunga obligasi rekap dan bunga SBI, secara operasional BCA masih merugi. Bank BCA akhirnya merupakan bank yang kenyang revenue dari pemerintah dan BI. Artinya bahwa, laba BCA hanya berasal dari subsidi dari pemerintah dan BI.
Nah, apabila BCA yang masih menikmati berbagai previlege semacam itu dilepas tanpa melepas embel-embel hak istimewanya, maka jelas negara yang akan dirugikan. Oleh sebab itu, hal yang semestinya dilakukan sebelum proses divestasi BCA adalah menukar obligasi rekap terlebih dahulu dengan kredit yang sudah direstrukturisasi BPPN.
Nasi sudah menjadi bubur, negara telah dirugikan ratusan triliun dan ujung ujungnya rakyat juga yang jadi korban dari ambisi penguasa yang tidak punya visi dan misi kedepan. Hanya satu yang harus dilakukan, Pemerintahan SBY – JK dalam sisa waktu yang ada harus menuntaskan kasus BLBI dan OBLIGASI REKAP yang jelas merugikan negara dan rakyat, seret seluruh pejabat dan obligor yang terlibat ke Pengadilan, kalau perlu mereka harus DIHUKUM MATI akar kedepan pengelolaan negara tidak main-main dan aparatur negara akan lebih bersungguh sungguh dalam mengemban amanat rakyat. Tegakkan hukum jangan pandang bulu. I love My Country.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar