Rabu, 14 Januari 2009

OBLIGASI REKAP, BEBAN ANAK CUCU KITA

Untuk mengetahui asal usul obligasi rekap, sebaiknya kita mulai dari pertengahan tahun 1997 dimana Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi, yang dipicu oleh melemahnya nilai tukar Baht Thailand. Dalam waktu singkat, ternyata rupiah juga terjangkit penyakit dari Thailand tersebut, dimana para investor asing melihat kesamaan fundamental ekonomi antara Indonesia dan Thailand yang sudah terlalu banyak memiliki hutang luar negeri.
Akibat pelarian modal ini, maka nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar amerika akibat ketidak seimbangan antara supply dan demand. Yang parah, ternyata krisis mata uang ini berkelanjutan di Indonesia sehingga terciptalah krisis ekonomi di segala bidang. Untuk itu maka pemerintah meminta bantuan IMF. Sebenarnya di sinilah kesalahan pemerintah Indonesia dalam melakukan diagnosa atas krisis yang dihadapi, sehingga jalan keluar yang dipilih juga salah. Saat itu, pemerintah menganggap pelarian modal tersebut semata mata akibat ketidak percayaan investor yang disebabkan oleh krisis Thailand, sehingga yang perlu dilakukan adalah memulihkan kepercayaan tersebut.
Untuk itu pemerintah mengundang masuk IMF dengan harapan lembaga internasional tersebut dapat memulihkan kepercayaan investor. Namun pemerintah tidak melihat bahwa akar permasalahan ketidak percayaan ini bukan hanya semata emosional investor akibat krisis di Thailand. Melainkan, ketidak percayaan investor ini memang disebabkan oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia sendiri yang tidak kokoh, dimana beban utang sudah sangat besar. Istilah yang digunakan oleh Kwik Kian Gie adalah Indonesia sudah mengalami kondisi over investment. Jadi, back up yang dilakukan dengan memanggil IMF dengan segala pinjaman siaga sebesar U$ 48 miliar sebenarnya tidak cukup.
Dalam diagnosa selanjutnya, beberapa saran diberikan oleh IMF agar dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti yang tercantum dalam Letter of Intent, dimana salah satunya adalah penutupan 16 bank. Nah di sinilah awal dari problema yang memunculkan obligasi rekap. Akibat salah perhitungan serta kurang siapnya pemerintah dalam melikuidasi 16 bank tersebut, dimana pada mulanya pemerintah tidak menjamin dana nasabah, telah memicu rush oleh nasabah pada sebagian besar bank lainnya. Akibat perbankan tidak memiliki dana cash, maka ambruklah system perbankan di Indonesia.
Guna mengatasi masalah likuiditas perbankan ini, maka Bank Indonesia memberikan dana pinjaman dalam bentuk KLBI dan BLBI, sehingga bank yang diserbu nasabahnya tetap dapat memenuhi kewajibannya. Namun demikian, tentu saja dana pinjaman tersebut harus dipertanggung jawabkan oleh perbankan itu sendiri. Akan tetapi, karena memang system perbankan sudah sangat kacau, dana BLBI tersebut tidak bisa dikembalikan. Akibatnya, pemerintah menanggung dana BLBI tersebut dengan mengeluarkan obligasi. Inilah penyebab pertama dari timbulnya permasalahan obligasi rekap.
Selain mengalami masalah likuidasi, system perbankan juga mengalami masalah kredit macet, akibat naiknya suku bunga hingga ke level 50%, yang mengakibatkan banyak debitor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Adapun kenaikkan suku bunga yang sangat tinggi ini sebenarnya juga merupakan saran dari IMF, guna memperkuat nilai tukar rupiah. Memang, dalam text book ekonomi, nilai tukar rupiah suatu negara berkorelasi positif dengan suku bunga. Jika suku bunga dinaikkan, nilai tukar negara tersebut cenderunge menguat. Dan sebaliknya. Namun demikian, kebijakan ini memakan korban dimana bermunculanlah kredit macet. Akibat dari timbulnya kredit macet ini, maka banyak modal perbankan yang mengalami penurunan, bahkan negatif.
Untuk mengatasi kredit macet tersebut, maka pemerintah kembali mengeluarkan obligasi rekap. Prosedurnya, kredit macet yang berada pada sisi aktiva perbankan dikeluarkan dan diserahkan kepada BPPN, untuk disehatkan kembali. Dan untuk mengisi bolong pada sisi aktiva tersebut, maka pemerintah memasukkan obligasi rekap. Inilah penyebab kedua dari timbulnya permasalahan obligasi rekap.Untuk mempermudah pemahaman mengenai timbulnya obligasi rekap, berikut ilustrasi yang dilihat dari neraca perbankan yang sangat disederhanakan, seperti berikut ini:
Neraca sebelum proses rekapitulasi dengan obligasi :
Aktiva terdiri dari :
- Kas 200.000.000
- Kredit Macet 650.000.000
- Aset lainnya 150.000.000
Total aktiva 1.000.000.000
Pasiva terdiri dari :
- Dana masyarakat 550.000.000
- Utang BLBI 700.000.000
- Modal (250.000.000)
Total pasiva 1.000.000.000
Menghadapi hal tersebut, pemerintah melakukan dua cara penyehatan dengan obligasi yaitu :
- Membuat modal bank jadi positif dengan cara mengkonversi Utang BLBI ke dalam Modal.
- Mengeluarkan Kredit Macet ke BPPN dan mengisi kekosongannya dengan Obligasi rekap.
Dengan demikian neraca perbankan menjadi sebagai berikut :
Neraca setelah proses rekapitulasi dengan obligasi :
Aktiva terdiri dari :
- Kas 200.000.000
- Obligasi Rekap 650.000.000
- Aset lainnya 150.000.000
Total aktiva 1.000.000.000
Pasiva terdiri dari :
- Dana masyarakat 550.000.000
- Modal 450.000.000
Total pasiva 1.000.000.000
Dengan rekapitulasi obligasi rekap ini, diharapkan perbankan di Indonesia menjadi sehat kembali, dimana 2 indikator utama kesehatan bank terpenuhi. Pertama, CAR perbankan diharapkan menjadi positif atau bahkan mencapai tingkat 8%, dengan kembali positifnya modal perbankan. Kedua, dengan hilangnya kredit macet, tentunya NPL perbankan akan baik kembali.
Namun, sebenarnya metode penyehatan perbankan ini hanya make up saja dan tidak secara tuntas akan menyelesaikan masalah perbankan. Untuk itu, penerbitan obligasi rekap ini seharusnya tidak dimaksudkan untuk selamanya ada pada system perbankan. Suatu saat harus ditarik kembali.
Sayangnya, pemerintah berpikiran kebalikannya. Penerbitan obligasi perbankan yang tadinya dimaksudkan hanya sementara, dianggap dapat dilakukan selamanya. Bahkan pejabat IMF Hubert Neiss dan Stanley Fisher mengatakan penerbitan obligasi tersebut hanya sekedar keep the bank afloat. Apa yang tadinya diharapkan untuk sementara ternyata dijadikan selamanya. Oleh sebab itu, perlu suatu terobosan untuk segera mengatasi masalah obligasi rekap ini dari system perbankan. Jika tidak, ingatlah beban sebesar Rp 7.000 triliun rupiah yang harus ditanggung anak cucu kita di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar